top of page

Perjalanan Budaya Peranakan Tionghoa Indonesia

Perjalanan Budaya Peranakan Tionghoa Indonesia

Kamis, 12 Juli 2018

Sabtu, 11 Agustus 2018

Jl. Taman Srigunting No.5-6, Tj. Mas, Kec. Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah 50174, Indonesia

Peluncuran Buku Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah perjalanan Budaya. Edisi ketiga, diperbarui dan diperluas.


Pembukaan Pameran "Warisan Peranakan: Perjalanan Budaya Peranakan Tionghoa Indonesia"


Penyelenggara: 

Komunitas Lintas Budaya Indonesia & 

Semarang Gallery


Buku Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah perjalanan Budaya pertama kali diterbitkan pada tahun 2009. Waktu itu peluncuran disertai pameran dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta. Buku ini diterbitkan dengan niat menjadi bagian dari upaya Komunitas Lintas Budaya Indonesia untuk memperluas dan memperdalam pemahaman tentang komunitas etnis Tionghoa di Indonesia. Dengan semakin hadirnya pemahaman diri di pihak kaum peranakan Tionghoa, dan semakin pahamnya juga kelompok etnis lain tentang seluk-beluk etnik ini, harapannya, etnis peranakan Tionghoa akan kian diterima sebagai bagian dari nasion Indonesia.


Buku yang ditulis dengan pendekatan bertutur, diperkaya dengan (amat) banyak foto indah, juga menyajikan berbagai foto koleksi benda-benda peranakan yang indah. 


Melihat animo masyarakat yang cukup besar, diterbitkan lagi edisi keduanya dalam bahasa Inggris pada tahun 2012 yang berjudul Indonesian Chinese Peranakan, A Cultural Journey. Dilakukan penambahan artikel, perubahan gambar, dan perbaikan-perbaikan lain. 


Mengamati bahwa masyarakat Indonesia masih belum terpuaskan, edisi ketiga ini diterbitkan lagi dalam bahasa Indonesia. Dilakukan lagi penambahan artikel, perubahan gambar-gambar, dan perbaikan-perbaikan yang perlu. 




Peranakan Tionghoa Indonesia, Sebuah Perjalanan Budaya


Tentang peranakan Tionghoa di Indonesia, masih ada anggapan bahwa mereka ini adalah suatu komunitas yang dapat dimasukkan dalam "satu kantung". Sayangnya, kekeliruan penilaian yang sangat mendasar ini sering kali tidak disadari oleh banyak pihak. 


Dilihat melalui kacamata yang lebih mikro, peranakan Tionghoa sangat kaya dengan keberagaman, hasil silang budaya antara budaya Tiongkok (yang variatif  tergantung dari provinsi mana mereka berasal) dengan budaya lokal Indonesia, yang tak kalah keragaman budayanya. 


Asimilasi sebagai hasil kontak budaya antara masyarakat Tionghoa dan masyarakat Indonesia berlangsung selama ratusan tahun melewati beberapa generasi. Itu yang ingin disampaikan oleh Gondomono dalam bab pembuka.


Mona Lohanda melanjutkan dengan memperkaya lagi kisah perjalanan peranakan Tionghoa di Indonesia dalam gejolak politik semasa Orde Baru. Ia bercerita tentang "Indonesiasi" pada masa itu dan upaya resinifikasi (menjadi Tionghoa kembali) setelah Orde Baru jatuh, yang ditolak oleh soliditas kelompok peranakan. 


Dalam bab lain Mona memberikan testimoni pengalamannya sendiri menjalani kehidupan sebagai peranakan "Cina Benteng" di Tangerang. Detail upacara sembahyang sepanjang tahun dan sajian-sajiannya, perbedaannya dengan dulu dan sekarang, apa maknanya, akan memperkaya pemahaman bahkan para peranakan yang masih menunaikan segala ritual itu sampai kini tetapi kurang mendapatkan edukasi tentang latar balakang dan makna ritual yang ia lakukan. 


Esther Kuntjara menyajikan hasil pengamatannya tentang sapaan kekerabatan dan pemberian nama orang Tionghoa di Indonesia. Hasil penelitiannya mengungkapkan betapa "gado-gado"nya istilah sapaan yang digunakan di dalam keluarga peranakan Tionghoa. Ada unsur bahasa Jawa, bahasa Hokkian, bahasa Jawa, bahkan bahasa Belanda. Catatan ini bisa dikatakan "menyelamatkan" apa yang oleh banyak kaum peranakan masa kini telah menjadi masa lalu karena dianggap "merepotkan" dan tidak penting. 


Peranakan Tionghoa Indonesia pun pernah memiliki kehidupan sastra dan persnya sendiri. Menurut Myra Sidharta, kesasteraan dalam bahasa Melayu yang sudah punah ini sejak 40 tahun lalu telah ditemukan kembali dan ditelaah secara ilmiah. Dibahasnya cikal bakal sastra melayu Tionghoa. Diceritakannya tentang Lie Kim Hok, Bapak Melayu Tionghoa, seorang wartawan Harian Li Po di Sukabumi. 


Dalam bab tentang tentang pers Melayu Tionghoa, Myra  bertutur tentang majalah, surat kabar dan penerbit Tionghoa. Tentang persaingan Harian Sin Po dengan Keng Po, karena kecenderungan politik masing-masing yang berbeda. Tentang perjalanan evolusi pers melayu Indonesia menjadi pers Indonesia.


Arsitektur bangunan peranakan Tionghoa dibahas habis oleh Handinoto, termasuk ciri-ciri arsitektur Tionghoa sebelum tahun 1900 dan jenis-jenis bangunan peranakan Tionghoa di Indonesia. 


Kehidupan peranakan Tionghoa tentu menggunakan perabot dan segala pernak-perniknya. Hal ini dibahas oleh Musa Jonatan. Kurator ini menceritakan apa bahan, motif hias dan maknanya. Di sini foto-foto menunjukkan berbagai alat yang pernah ada dalam khasanah kehidupan peranakan. Dari rak manisan (perlengkapan sembahyang) sampai ranjang opium, lemari cuiho, ikat pinggang, hiasan kepala untuk wanita, yang semuanya indah.


Dalam bab lain, Musa menuturkan juga tentang Lembaga Seniman Indonesia Tionghoa, sebuah lembaga yang pernah eksis dan sangat produktif di zaman Presiden Soekarno masih menjabat. 


Sistem pengukuran dalam pembuatan furnitur peranakan ternyata berbeda dengan sistem pengukuran yang kita kenal sekarang. Mengapa sistem pengukuran itu dikaitkan dengan Lu Ban? Para penggemar furnitur antik peranakan Tionghoa dapat menggunakan pengetahuan yang tersaji di sini sebagai pedoman untuk memperluas pengetahuannya; bahkan termasuk cara membedakan furnitur peranakan asli dengan yang imitasi!


Kehidupan peranakan di Tanah Air juga menciptakan suatu genre tersendiri dalam khasanah perkeramikan. Boedi Mranata membahasnya dalam "Pengaruh Perdagangan Keramik Tiongkok terhadap Budaya Peranakan". Berdasarkan temuan kapal-kapal dagang Tiongkok yang karam di perairan Indonesia. kekhasan dan keunikan desain keramik yang ditemukan adalah gambaran selera pasar mereka di Indonesia. Desain-desainnya memasukkan unsur-unsur budaya Tionghoa, Nusantara, dan Eropa. 


Dalam bab  "Seni Bordir Peranakan Tionghoa", Mary Northmore mendeskripsikan karya-karya bordir khas peranakan Tionghoa Indonesia dalam koleksinya. Dari kain penutup altar (tokwi), tirai penutup ranjang, hiasan gantung, karya manik-manik, teknik bordirnya dijelaskan secara detail.


Bagaimana dengan pakaian? David Kwa berusaha menepis pandangan bahwa busana Tionghoa di Hindia Belanda dulu identik dengan busana di Tiongkok sana. Pada abad ke-20 sudah berkembang suatu mode pakaian yang unik dikenakan oleh para peranakan. Pengaruh Nusantara sudah amat tergambar dalam mode pakaian ini. 


Tentang batik peranakan, William Kwan Hwie Liong menyumbangkan hasil pengamatannya dalam "Evolusi Batik Peranakan Tionghoa di Pulau Jawa". 


Dalam bab lain David Kwa juga membahas gambang kromong dan wayang cokek yang merupakan kontribusi kaum peranakan Tionghoa dalam bidang musik Betawi. Tentang gambang semarang, diceritakannya begini,

" ... Sekitar 1930-an, Li Hoo Soen (1898 -1986)  seorang tokoh masyarakat peranakan Tionghoa di Semarang, merasakan bahwa Semarang sebagai sebuah kota besar kekurangan musik khas dan memutuskan untuk mencarinya. " 


Singkat kata ia akhirnya mengundang Tjiam Bok Koey alias Kodok dari Tanah Abang, Batavia, untuk menularkan ilmunya kepada orang Semarang. Kemudian Gambang Semarang berkembang sendiri dan menemukan kekhasan lokalnya sendiri.


Kehidupan selalu memerlukan makanan dan di sinilah relevannya bab "Masakan Tionghoa Peranakan" yang ditulis oleh Helen Ishwara. Berbagai menu makanan sembahyangan maupun jajanan khas pernakan diceritakannya. Diangkatnya fakta bahwa satu jenis makanan yang sama telah memperoleh apresiasinya sendiri di tempat-tempat berbeda di Nusantara. Buktinya, kita mengenal lumpia semarang, lumpia jakarta, lumpia bogor, lumpia padang, dst. 


Lily Wibisono melengkapi bab tentang makanan dengan profil seorang tokoh legenda kuliner peranakan dari Lasem, Julie Njo, dikenal sebagai Nyonya Rumah. 


Diskusi tentang segala aspek peranakan Tionghoa di Indonesia ini ditutup dengan bab "Peranakan: yang punah, yang mengglobal". Penulisnya, Ariel Heryanto, melihat bahwa peranakan Tionghoa di Jawa, berdasarkan kiblat dan selera budayanya, ada lima kelompok yang berbeda. (Lebih langkap dapat dibaca pada link: http://intisari.grid.id/read/03896335/siapa-sebenarnya-tionghoa-peranakan?page=all)


(Lily Wibisono)


bottom of page