top of page

Simulation : Presenting, Removing and Reappear

Image-empty-state.png
21 Juni 2024

-

18 Agustus 2024
Semarang Contemporary Art Gallery, Jalan Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia
Simulation : Presenting, Removing and Reappear

Simulasi : Menghadirkan, Menghilangkan dan Memunculkan Kembali


a group exhibition by

Agus Putu Suyadnya

Iabadiou Piko

Iqi Qoror

M.A Roziq

Palito Perak


curated by

Riski Januar



Semarang Gallery

21 June - 18 August 2024



Simulasi : Menghadirkan, Menghilangkan dan Memunculkan Kembali


Dari gagasan juga proses kekaryaan lima orang seniman yang terdiri dari Agus Putu Suyadnya, Iqi Qoror, Iabadiou Piko, M.A Roziq, serta Palito Perak, kami menangkap sebuah siklus yang terdiri dari upaya untuk menghadirkan, menghilangkan dan memunculkan kembali, sebagai cara untuk mensimulasikan suatu keadaan yang bermuara kepada penciptaan karya seni. Siklus maupun upaya ini kami anggap sebagai keadaan kontemplatif di mana seniman mengambil jarak dengan dirinya, untuk melihat dirinya secara utuh.


Siklus ini merujuk kepada tiga gagasan utama yaitu tentang simulacra, keberadaan manusia dan imajinasi kesadaran. Tiga gagasan ini merangkum pembicaraan tentang karya dari lima orang seniman ini.


Dunia Simulacra

Istilah simulacra sering kali dikaitkan dengan pembahasan bagaimana citra dan tanda telah mengambil peran utama dalam membentuk realitas kita saat ini. Jean Baudrillard dalam teori simulacranya menjelaskan bahwa manusia saat ini ada dalam dunia simulacra (simulasi realitas). Di mana mereka terjebak pada permainan gambar, citra, atau penanda suatu peristiwa yang telah menjauhkan mereka dari realitas sebenarnya. Baginya, permainan itu mengantarkan manusia pada bentuk pengorganisasian tatanan sosial di mana simulasi berkuasa. Simulasi tersebut merupakan mekanisme pembentukan realitas baru yang tidak mengacu pada realitas sesungguhnya melalui pemanipulasian tanda. Dunia itulah yang Palito dan Iqi coba hadirkan dalam karya-karyanya. Keduanya mengambil langkah untuk menghadirkan, menciptakan, atau menduplikasi citra-citra fenomena yang terjadi dewasa ini, baik itu manusia, alam benda, maupun peristiwa.


Palito dalam karyanya, menghadirkan lukisan bunga yang kabur. Pada seri karya ini, Palito menduplikasi citra dari potongan visual yang ditemuinya di Internet. Proses penduplikasian ini merupakan bagian dari gagasan Palito tentang bagaimana sesuatu yang telah dicitrakan kemudian dicitrakan kembali, lalu dikaburkan, sehingga menghadirkan sebuah citra baru.


Proses di mana sebuah objek ditemukan, lalu disadur dalam bentuk lain, adalah tentang bagaimana sesuatu dicitrakan. Citra itu kemudian diduplikasi berkali-kali hingga objek tersebut kehilangan realitas asalnya, dan pada akhirnya benar-benar hilang keberadaannya sebagai sebuah bentuk maupunmaupun kenyataan. Pada momentum ini, objek yang disadur tadi tidak lagi penting sebagai rujukan, sebagai visual, maupun dari mana hal itu disadur. Karena Palito telah memprosesnya dalam kerja artistik yang kemudian dijadikan sebagai objeknya sendiri.


Lebih lanjut, kekaburan pada lukisan Palito diinterpretasikan sebagai semacam tabir. Baginya, objek di balik tabir merupakan hal-hal yang tidak dapat ditebak realitasnya, salah benarnya dan baik atau buruknya. Sedangkan objek di depan tabir adalah hal yang dapat diwujudkan kebenarannya. Dalam lukisannya, teks-teks dimuka tabir merupakan simbol akan kebenaran yang mewujud, karenanya teks itu nampak jelas dan berupa kata-kata motivasi, serta harapan-harapan baik. Sementara itu, objek bunga pada lukisan Palito disimbolkan sebagai realitas dari masa depan yang tidak dapat ditebak. Sehingga kita hanya bisa mengira-ngira apakah bunga dibalik tabir adalah bunga yang indah atau malah bunga yang akan menjadi layu. Keindahan dan kelayuan tersebut yang kemudian menjadi analogi untuk masa baik dan buruk.


Sedangkan pada karya Iqi Qoror, dia menampilkan peristiwa-peristiwa sederhana seperti pesta di kolam renang, sarapan pagi, dan suasana hotel yang penuh. Karyanya membuat kita seperti melihat sebuah peristiwa kunjungan orang-orang kota ke sebuah desa. Terwujud melalui komparasi bentang alam yang meliputi gunung, sawah, pepohonan, atau tanaman rimbun dengan figur-figur yang mengenakan setelan jas, pose, serta objek pendukung lain seperti koper, koran, dan sebagainya.


Hal menarik pada Iqi adalah cara dia mengatur pose figur-figurnya, dengan ditata seolah-olah berada dalam sebuah pengamatan atau pendokumentasian dari aktivitas yang sedang mereka lakukan. Bagian ini mengarahkan pembacaan tentang bagaimana sebuah jarak dan batas diciptakan dari hal yang biasa. Atau cara keasingan dikonstruksi dari hal yang sebenarnya wajar-wajar saja. Kesan jarak dan keasingan ini tertangkap dari cara Iqi mengkomparasikan antara objek dan subjek dalam karyanya. Gagasan yang dikemukakan Iqi pada karyanya sarat dengan ambiguitas, karena terbuka pada banyak interpretasi, tergantung persepsi siapa yang memaknainya.


Semua adegan, peristiwa, dan lanskap yang dilukiskan oleh Iqi sebenarnya adalah sebuah pengandaian. Hal ini terkonfirmasi dari kunjungan ke studionya saat dia menjelaskan karyanya. Pengandaian yang dimaksud adalah tentang bagaimana sebuah adegan dan tempat dihadirkan tanpa mengacu kepada realitas sebenarnya, sehingga menjadikannya seolah-olah realitas yang sesungguhnya. Pada prosesnya, Iqi membayangkan serta mengandaikan sebuah peristiwa yang terjadi pada suatu tempat tertentu. Tempat ini adalah tempat yang benar-benar ada, misalnya pada karya di pameran ini, tempat yang dirujuk merupakan sebuah desa di Kabupaten Bantul, Yogyakarta. Akan tetapi penggambarannya adalah pengandaian terhadap realitas tempat yang dia bentuk sendiri, tanpa benar-benar

merujuk pada realitas tempat sebenarnya.


Gagasan Iqi Qoror dan Palito Perak nampaknya mengobrak-abrik perihal simulacra, yaitu sebuah konsep untuk menjelaskan simbol, tanda, dan citra yang tampak dalam suatu realitas tanpa rujukan jelas terhadap kebenaran keberadaannya. Karya Palito misalnya, dia menangkap fenomena zaman tentang bagaimana segala sesuatu dicitrakan untuk kepentingan tertentu saat ini. Fenomena itu dapat diamati dalam penggunaan sosial media. Fenomena tentang citra serta pencitraan ini yang kemudian digunakan Palito dan digambarkan melalui visual blur pada karyanya. Jadi pada praktek artistiknya Palito melakukan simulacra berkali-kali pada objek yang telah dicitrakan kemudian bermuara pada kepentingannya dalam menyampaikan gagasan yang lain seperti sejarah, fenomena sosial, dan kemanusiaan. Begitupun dengan karya-karyanya yang ditampilkan pada pameran ini.


Proses artistik Palito mungkin cocok untuk menggambarkan fenomena percepatan inovasi seperti yang dijelaskan Yasraf Amir Piliang di buku “Dunia Yang Dilipat”. Di mana setiap orang terjebak dalam temporalitas segala sesuatu, hadir seketika dalam waktu singkat untuk kemudian lenyap secara cepat dan digantikan oleh sesuatu yang lain tanpa akhir. Pada proses artistiknya, Palito melakukan hal tersebut; memakai sesuatu (gambar) yang hadir, kemudian melenyapkannya (mengonstruksi), dan menggantikannya dengan sesuatu yang lain (visual blur).


Sedangkan itu, Iqi Qoror dalam karya-karyanya, menggunakan simulacra untuk mewujudkan sebuah realitas yang ada dalam pikirannya. Entah itu pikiran tentang sebuah tempat yang ideal atau malah menjadi kritik tentang tempat tersebut. Karya-karya Iqi berada dalam wilayah abu-abu, dia tidak menjelaskan keberpihakannya tentang bagaimana sebuah tempat menjadi seharusnya. Tapi lebih kepada apa yang dia bayangkan, andai-andaikan, menciptakan persinggungan, atau membuat perbandingan. Lalu pada akhirnya, semua yang dirancang Iqi dalam lukisannya adalah sebuah penawaran tentang citra sebuah tempat dan citra orang-orang di dalamnya. Bagaimana citra itu dinilai, sepenuhnya berada dalam persepsi masing-masing orang yang mengapresiasi karyanya.


Keberadaan Manusia

Dalam perjalanan pencarian makna keberadaan manusia, seni terkadang menjadi cerminan kompleksitas dan pertanyaan-pertanyaan tentang eksistensi manusia. Agus Putu Suyadnya dan M.A Roziq melalui karyanya menghadirkan pandangan unik mereka tentang eksistensi manusia. Keduanya kemudian menghadirkan pemahaman tentang hakikat manusia serta peran ingatan dalam membentuk identitas dan eksistensi manusia. Suyadnya dengan gambaran perjalanan manusia dalam mencari makna keberadaannya, sedangkan Roziq dengan perangkaian ulang ingatan yang memunculkan kembali tanda, makna, dan bentuk-bentuk.


Dalam lukisan Suyadnya, kita dapat melihat seorang manusia yang dilengkapi baju pelindung di tengah hutan belantara. Pada karyanya, ia membicarakan tentang eksistensi manusia yang mempertanyakan ulang perihal keberadaan manusia. Baju pelindung disimbolkan sebagai batasan dan bentuk keterasingan, sementara hutan disimbolkan sebagai bentuk dominasi serta kuasa alam atas kehidupan.


Sementara itu, Roziq mengelola ingatannya tentang tempat, kejadian, atau segala hal yang berelasi dengannya, seperti musik, benda, dan penanda apapun untuk kemudian dikelola olehnya serta dihadirkan ke dalam bentuk karya seni. Ia menilai bahwa apa yang kita ingat tidak serta merta bisa dilupakan begitu saja. Baginya, ingatan harus dikelola dengan baik, walau itu sebuah ingatan yang buruk sekalipun.


Pengelolaan ingatan pada gagasan kekaryaan Roziq merupakan gagasan yang merujuk kepada hakikat dari kehidupan manusia yaitu tentang ingatan, pengalaman, kejadian, dan segala sesuatu yang melekat dalam pikiran maupun perasaan. Karya-karya Roziq menggunakan material non konvensional seperti semen, yang menurutnya dapat membekukan bentuk. Pemilihan material ini berhubungan dengan gagasan tentang ingatan, yang secara hakikatnya tidak bisa dilupakan atau dihilangkan, dia beku di dalam pikiran, serta bisa dimunculkan, dirasakan, dan dirindukan kapan saja.


Baik Roziq maupun Suyadnya, keduanya sama-sama membicarakan hal-hal esensial pada manusia. Gagasan ini berisi muatan reflektif yang memicu kesadaran kita tentang diri, keberadaan, dan batasan-batasan yang ada pada manusia. Konsep seperti itu merujuk kepada pemikiran Sartre tentang eksistensialisme. Sartre melihat bahwa kesadaran kita bukanlah kesadaran ‘akan ’dirinya, melainkan kesadaran diri. Di dalam kesadaran diri selalu ada jarak antara kesadaran dan diri. Oleh karena itu, manusia seolah terhukum oleh kebebasan yang membuatnya terus menerus berbuat. Dalam keadaan yang demikian manusia berusaha membebaskan diri dari kecemasan dengan mencoba menghindari kebebasannya.


Usaha untuk membebaskan diri dari kecemasan tergambar dalam karya Suyadnya yang membentengi manusia dengan baju pelindungnya. Kemudian merefleksikan kefanaan dengan lanskap yang sunyi dan hening di refleksi kaca helm yang dipakai oleh figurnya di tengah hutan belantara. Ia menggambarkan manusia sebagai entitas terasingkan dalam habitat dan ekosistemnya sendiri. Keterasingan ini tidak merujuk kepada realitas, melainkan kepada hakikat dan esensi atas perenungan dan penilaian terhadap diri. 


Begitupun dengan Roziq, ia memunculkan kembali ingatan-ingatannya kedalam bentuk, benda, dan simbol-simbol yang dia reka, lalu dibekukan dengan material semen yang dia gunakan. Lantas, apakah karya-karya ini tidak sekedar menandai ingatan, tetapi merupakan ekspresi keterhukuman akan kebebasan (mengingat) yang berisi perlawanan atas kesadaran bahwa jika ingatan tidak bisa dilupakan maupun dihilangkan, maka dia harus dimunculkan atau diwujudkan?


Imajinasi Kesadaran

Piko dalam karyanya membicarakan hal yang ada pada diri manusia, yaitu bayang-bayang atau bayangan. Karya Piko merupakan lukisan personal, intim,, dan subjektif. Seperti seniman abstrak lainnya, acuannya bukanlah pada bentuk, melainkan pada rasa. Bagaimana rasa dapat diekspresikan dalam garis, tumpukan warna, dan tindakan dalam proses penciptaan karyanya.


Piko mengutarakan bahwa karyanya adalah setumpuk pengalaman, kejadian, ingatan yang melekat pada dirinya. Tumpukan itu kemudian ia analogikan seperti bayangan, yakni sesuatu yang memiliki bentuk tapi tidak bisa disentuh, hanya bisa dilihat, dan diamat-amati saja. Dalam karyanya, Piko tidak mengungkapkan secara langsung peristiwa atau pengalaman apa yang dia alami. Sebaliknya, ia menawarkan ‘rasa ’yang tercipta pada karyanya yang terbentuk dari hal-hal yang dialami.


Menikmati karya Piko adalah sebuah proses merasakan, di mana apa yang dia rasakan bersifat subjektif bagi setiap pengamat. KemudianKemudian ppada akhirnya, karyanya melepaskan diri dari Piko, ketika karya itu diamati oleh publik. Karena perihal (pengalaman, kejadian, ingatan) apa yang mendasari Piko melukis, tidak selalu berelasi dengan permasalahan yang dialami oleh apresian. Sehingga ketika karya ini diamati, maka dia telah berdiri sendiri tanpa adanya ikatan dengan senimannya.


Karya-karya Piko merujuk kepada kesadaran imajinatif, yaitu suatu spontanitas yang membentuk dan meneruskan objek sebagai sebuah imaji. Kesadaran tampak pada dirinya sendiri sebagai sesuatu yang kreatif, tapi tanpa memposisikan bahwa apa yang telah tercipta merupakan sebuah objek. Karena berkutat dalam kesadaran imajinatif ini, maka pilihan visual paling tepat adalah lukisan dengan gaya abstrak karena jenis lukisan ini tidak mengacu kepada bentuk-bentuk objek tertentu.


Penutup

Dari kelima seniman tersebut, kita dapat melihat adanya siklus yang sama dari cara mereka mengungkapkan sesuatu sebagai dasar dari pembentukan kekaryaan. Siklus ini mencakup hal-hal seperti menghadirkan, menghilangkan dan memunculkan kembali sehingga menghadirkan keadaan serta peristiwa yang seolah-olah diciptakan, dikonstruksi ataupun diskenariokan. Kondisi untuk menghadirkan keadaan ini yang kemudian kami sebut dengan simulasi.


Tentu siklus seperti ini adalah hal lumrah dalam proses penciptaan karya seni, tetapi bagaimana sebuah keadaan ataupun peristiwa itu diekspresikan serta dibicarakan adalah bentuk dari intuisi kesenimanan dalam sudut pandangnya melihat sesuatu, sekitarnya, dan dirinya. Maka sudut pandang ini yang kemudian menjadi hal paling penting karena dapat membuat karya-karya ini memiliki nilai, fungsi, maupun makna.


Pameran ini sekiranya mencoba menawarkan kesadaran tentang penilaian terhadap diri serta hal-hal yang ada dan dekat disekitar kita. Memahami diri berarti mengambil jarak dengan diri itu sendiri, ketika seniman membicarakan dirinya, maka dia telah berjarak dengan dirinya. Sehingga dia bisa leluasa untuk mengekspresikan atau mewujudkan apa yang ada pada dirinya. Walau terkesan sangat intim, personal, dan subjektif, tetapi apa yang diutarakan seniman dalam karyanya adalah perwakilan permasalahan orang banyak yang direfleksikan. Oleh karena itu apa yang diutarakan seharusnya dapat dinilai dan disadari dalam proses pengapresiasian karya seni.


Maka untuk menutup tulisan ini, kita kembali mengutip pernyataan Sartre yaitu “manusia seolah terhukum oleh kebebasan yang membuatnya terus menerus berbuat”.





Selamat menikmati, Salam






Bantul, 5 Mei 2024


Riski Januar

Nimas Selu Yasmine

bottom of page