top of page

Set and His People

Image-empty-state.png
15 November 2019

-

14 Desember 2019
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

a solo exhibition by

Abdi Setiawan


curated by

Wahyudin

Set dan Orang-orangnya


“Nothing can be exactly repeated or imitiated … Nothing can really be ‘original’.”

—Boris Groys (2014)


Abdi Setiawan—masyhur dengan panggilan Set—adalah Geppetto di dunia seni rupa kontemporer Indonesia. Dari tangannya yang terampil, sekitar lima tahun terakhir telah lahir "pinokio-pinokio" aneka rupa dan karakter. Ada yang elok, ada yang buruk, ada yang lucu, ada yang kaku, ada yang sok, ada yang lunak, ada yang galak, ada yang bijak.Tapi, semua sama-sama menarik bom imajinasi tak tepermanai.Semua adalah anak-anak kehidupan khayali yang lahir dari pergulatan insani Abdi Setiawan.


Itulah yang memungkinkan pemirsa bertualang di dunia-dalam imajinasi kanak-kanak untuk masuk-menemu makna kehidupan atau permenungan hidup orang dewasa sebagai individu dan anggota masyarakat.Kemungkinan itu tersua dalam pameran tunggalnya berjudul The Future is Here yang berlangsung di Redbase Contemporary Art, Jakarta, 30 Oktober-30 November 2014.


Dalam pameran tersebut, alumnus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu kembali memanggungkan patung-patung sosok anak-anak dan orang dewasa yang pernah tampil dalam pelbagai pameran seni rupa di dalam dan luar negeri sekitar empat tahun belakangan. Persisnya, ada tujuh patung sosok bocah laki-laki "bernama" Aktor (2009), Batman (2011), Burger Time (2009), Commodore (2010), Kapiten (2009), The Tiger (2011), dan Ultraman (2010). Kecuali Batman dan Tiger yang berbahan serat gelas atau kaca serat (fiberglass), lima lainnya berbahan kayu.


Aktor, Batman, dan Kapiten pernah pentas di dua kota Eropa. Yang pertama dalam pameran tunggal berjudul New Sculptures di Metis Gallery, Amsterdam, Belanda, pada 5 Juni-3 Juli 2010.Yang kedua dalam pameran tunggal bertajuk New Sculptures di Andre Simoens Gallery, Knokke, Belgia, pada 18 September-24 Oktober 2010. Sedangkan Commodore, Ultraman, dan The Tiger pernah bermain dalam lakon The Victims dalam Jakarta Biennale Ke-14 yang bertajuk Maximum City: Survive or Escape? Di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, selama 30 hari, 15 Desember 2011-15 Januari 2012.


Sebelas bulan berselang, mereka ikut serta bersama Aktor selama satu purnama, 5 Desember 2012-5 Januari 2013, dalam pameran kelompok berjudul A Sign of Absence di Edwin's Gallery, Jakarta. Setelah rehat enam candra, minus Aktor, mereka berlakon lagi dalam pergelaran RePLAY #4 yang berjudul Malacca's Boys di Office for Contemporary Art (OFCA) International, Yogyakarta, selama 30 hari, 28 Juni-28 Juli 2013. Adapun Burger Time bersama Batman pernah naik panggung bareng sejumlah lukisan kontemporer Andy Dewantoro dan Eddie Hara selama satu bulan, 8 Maret -7 April 2012, di Sin Sin Fine Art Gallery, Hongkong.


Selain mereka, ada satu patung sosok orang dewasa, yaitu Security Guard (2013), yang sebelumnya menjadi petugas keamanan nan santun dan penuh pengabdian selama tiga bulan, 11 November 2013-10 Januari 2014, dalam perhelatan Yogyakarta Open Studio di OFCA International, Yogyakarta.


Dengan riwayat pertunjukan yang mengesankan itu, praktik artistik Abdi Setiawan boleh dibilang serupa dengan praktik penyutradaraan dalam seni pertunjukan, teater, dan film—yang menuntut kepiawaian serta kepekaan menata-kelola pelakon, cerita, dan panggung. Bukan cakap kecap, pematung kelahiran Sicincin, Pariaman, Sumatera Barat, 29 Desember 1971, itu sudah menginsafi keserupaan itu sejak 2004, ketika dirinya memanggungkan patung-patung figur manusia kawasan remang-remang pinggir kota dalam pameran tunggalnya yang berjudul Gairah Malam di Lembaga Indonesia Prancis, Yogyakarta.


Dari sana, saya beroleh pengetahuan "baru" yang belum diketahui banyak orang bahwa praktik artistik Direktur Sicincin Indonesia Contemporary Art, Yogyakarta itu bertolak dari apa yang heboh di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini sebagai praktik atau proyek seni rupa berbasis riset atau observasi. Karena itulah, bisa dimengerti jika Abdi Setiawan mendaku seni patungnya sebagai seni patung naratif dan reflektif.


Artinya, pada patung-patung eksponen Forum Ceblang Ceblung itu tergurat apa yang disebut Susan Sontag sebagai citra dan teks yang menyodorkan dua hal simultan, yaitu sodoran kenikmatan sensual yang bebas dari "isi" dan undangan pendayagunaan kecerdasan. Dengan begitu, tercipta peluangnya untuk membangun momen apresiasi yang demokratis dalam setiap pameran karya seni pantungnya.


Dalam momen itu, Set sahaja membuka kotak perkakas estetika aneka jenis yang memungkinkan pemirsa meresepsi karya seni patungnya sesuai dengan kepentingan mereka. Dengan itu, mereka menjadi teremansipasi untuk mengada di antara "yang awam" dan "yang pakar" dalam aktivitas semiotis yang berambisi membuat makna dari tanda dan simbol pada karya seni rupa atau sekadar bersenang-senang memanfaatkan waktu senggang di galeri seni rupa.


Dengan kata lain, setiap pemirsa berkesempatan merayakan pertemuannya dengan karya seni patung Abdi Setiawan sebagai objek kenikmatan yang memungkinkan mereka tenggelam dalam kolam keintiman penuh emosi dan sensasi yang sukar diungkapkan dengan kata-kata. Sementara itu mereka pun berpeluang menggali dan mengorek sedalam-dalamnya pemahaman kritis karya seni patung anggota Sanggar Sakato itu sebagai objek intelektual yang berkehendak merefleksikan waktu, tindakan, nilai, sejarah, dan identitas manusia dengan lanskap imajiner yuwana.


Apa pun itu, perkara pemirsa tetap sama: bagaimana menjadi arif dalam suatu perjumpaan yang belum-sudah dengan karya seni rupa. Perkara itu adalah jarak, baik intelektual maupun emosional. Ternyata, dalam pameran The Future is Here, Abdi Setiawan sudah mengisyaratkan secara lembut perkara itu dengan menghadirkan patung sosok gadis cilik "bersarira" jelaga dan "bernama" Girl a.k.a Kiss(2014).


Kehadirannya tidak hanya menyiratkan presensi pemirsa yang jeli, tapi juga, pinjam kalimat Jacques Ranciere, citra yang merujuk kepada sesuatu yang-Lain.Itu bisa berarti kehadirannya merupakan sosok dan pokok baru yang memampukan Abdi Setiawan menggelar narasi baru di atas panggung imajiner baru.Dengan begitu, sosok-sosok lama pun terbarukan dalam rekreasi konteks pertunjukan yang memungkinkan mereka bersama Kissmencapai derajat ekspresi tak terduga di mata pemirsa.


Karena itulah, alih-alih mencerminkan figur lemah yang tersisihkan; pelengkap penderita yang tersia-sia di dunia patriarkis yang bengis Kiss, menggambarkan sewajarnya penguasa utama, dengan raut muka lajat dan sikap anteng, tengah mengawasi aparatus kekuasaannya yang lembek serta mengontrol kejantanan yang kenak-kanakan dan dibikin-bikin dari dekat dan cermat.


Pada akhirnya, kehadiran Kissmemampukan Abdi Setiawan meremajakan kebijaksanaan lama ihwal perempuan dan anak-anak sebagai empu masa depan dan sumber keagungan pemirsa yang tak akan berhenti tafakur bahwa seni rupa (wan) masih menyimpan harta berharga kehidupan berupa bom imajinasi tak tepermanai yang sanggup meledakkan dunia maskulin, liar, dan beringas dengan kehangatan insani penuh arti.


***


Setelah lima tahun pameran The Future is Here berlalu—Kiss, Commodore, dan Tiger(ini kali berbahan kayu) akan tampil kembali dalam pameran Set and His People di Galeri Semarang, 15 November-15 Desember 2019. Begitu pula dengan Pinky, Tatto Man, Belaian Angin Malam, Salome, dan Melepas Lelah, yang pernah berlakon dalam The Flaneur di Nadi Gallery, Jakarta (2007); Asongan dalam A Sign of Absence di Edwin's Gallery, Jakarta (2013), The Chef alias Mooi Indie dalam Jogja Joged di Artjog, Yogyakarta(2014); Shooter dalam New Sculptures di Metis Gallery, Amsterdam, Belanda (2010); Boogeyman dalam Melihat Indonesia di Ciputra Artprenuer Centre, Jakarta (2013); Awas Anjing Galak di Gajah Gallery, Singapura (tt); dan Si Pelukis Rakyat dalam Potret di Bentara Budaya Yogyakarta (13-22 Agustus 2019).


Dengan begitu, Abdi Setiawan bukan hanya melakukan peremajaan atas sejumlah karya patungnya dari lalu waktu, melainkan juga memanggungkan ulang mereka guna pembaruan nilai artistik, ekonomi, dan diskursif yang berkaitan dengan 12 patung baru yang dibuat Set sepanjang sepuluh bulan terakhir di tahun 2019—yaitu To Be A Star, Kung Fu Boy, Jump, The Dreamer, Smoker, Akur, Mickey, Loro Blonyo Kiri, Loro Blonyo Kanan, Balance, The Spy, dan Celebrities.


Selain kedua belas patung baru itu, Set mengalih-wahana patung-patung protagonisMalacca’s Boys—Aktor, Hero, dan Sang Kapten—kedalam lukisan potret bergaya pop art yang menggelikan. Setali tiga uang dengan Boogeyman yang menjelma Bangsawan di selembar kanvas bergambar-latar tokoh kartun Jepang dan Barat.Keempat lukisan itu bertarikh 2019.


Sampai pada titik itu, saya harus katakan bahwa kebaruan 12 patung dan 4 lukisan tersebut tidak terletak pada perangkat formal dan materialnya (sejak awal 2000-an Set telah memanfaatkan kayu sebagai perangkat material karya-karya patungnya sehingga memampukannya mengartikulasikan, kalau bukan menerobos, apa yang dimanfaatkan pematung Gregorius Sidharta [1932-2006] dan Amrus Natalsya [1933]); tidak juga pada isi yang terpahat, tergurat, atau terekspresikannya (sebelumnya Set pernah membikin sejumlah patung dan lukisan serupa pada 2012 dan 2017), tapi pada konteks dan bentuk pemanggungannya.


(Dalam 6 pameran tunggalnya sebelumnya: Gairah Malam (2004), The Flaneur (2007), New Sculptures (di Belgia dan Belanda, 2010), Re-Play #4 (2013), dan The Future is Here (2014), Set menggunakan bentuk pemanggungan ala pentas teater yang, sebagaimana sudah saya singgung di atas, memampukannya menjadi semacam sutradara yang unik dalam tradisi seni patung kontemporer (di) Indonesia—sehingga membikinnya berkerabat secara artistik dengan pematung-pelukis Amerika George Segal [1924-200]).


Ini kali, dalam pameran Set and His People ini, Set tak lagi berlaku sebagai sutradara.Alih-alih, dia bertindak sebagai semacam juru-foto yang mengarahkan patung-patungnya berpose atau bergaya sesuai dengan karakter, tabiat, atau kecenderungan alamiah mereka. Dalam hal itu, Set mengingatkan saya pada tindakan artistik Stephan Balkenhol (1957), pematung Jerman yang kini tinggal dan berkarya di antara Karlsruhe, Jerman, dan Meisenthal, Prancis.

Dengan begitu, kita beroleh sebuah pergelaran “model penggambaran” patung dan lukisan (atau patung yang dilukis) manusia—dewasa dan kanak-kanak—dan sedikit binatang-boneka-binatang (kembangan dari patung potret bocah “bernama” Ugly Boy [2013, kayu dan akrilik, 35 x 100 sentimeter), yang berbeda dan khas, kalau bukan baru, yang terbilang langka di dunia seni rupa kontemporer Indonesia hari-hari ini.

Semarang, 15 November 2019

WAHYUDIN

bottom of page