top of page

Sensing Sensation

Image-empty-state.png
20 Agustus 2021

-

23 Oktober 2021
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

𝐒𝐄𝐍𝐒𝐈𝐍𝐆 𝐒𝐄𝐍𝐒𝐀𝐓𝐈𝐎𝐍

a group exhibition


Semarang Gallery is delighted to present a group exhibition that will consist of Indonesian contemporary artist, embracing their idea and style.


This exhibition will showcase 11 young female artists:


Bunga Yuridespita · Evi Pangestu · Fika Ria Santika

Ines Katamso · Kanoko Takaya · Maharani Mancanagara

Meliantha Muliawan · Natasha Tontey · Natisa Jones

Rega Ayundya Putri · Tara Astari Kasenda


Curated by:

Ignalia Nilu



Exhibition Opening

Saturday, August 21, 2021 at 7.30 PM

via Zoom Meeting and will be broadcasted on YouTube Live Stream

https://youtu.be/7B9aoX7mUEo


Officiated by:

Mella Jaarsma


Guest Speech:

Farah Wardani

(Jakarta Biennalle Director)



Please follow our health and safety protocols to prevent the spread of C0VID-19.

Sensing

Sensation


Menyadari bahwa nyaris selama tiga dekade belakangan, secara kolektif kita telah menyadari dampak besar dari militerisme, kolonialisme, perang nuklir, polusi limbah, plastik dan penggundulan hutan. Dinamika budaya modern tersebut juga sekaligus menjadi cerminan adanya intervensi manusia yang beruah menjadi dominasi pada lingkungan dan ruang alam. Fenomena yang terjadi secara global ini kemudian berubah menjadi persoalan social yang membutuhkan perhatian khusus untuk menemukan jalan rekonsiliasi agar menjadi selaras kembali menjadi harmoni.


Pembatasan aksesibilitas public dan mobilitas di masa pandemic ini telah mengajarkan kita untuk lebih dekat lagi dengan lingkungan sekitar. Ketika individu di hari ini lebih banyak beraktifitas dari rumah dan wilayah sehari-harinya, kita dapat menjadi menyadari besarnya persoalan limbah plastic yang patut mendapat perhatian khusus. Disaat kita tidak banyak mengakses ruang public yang telah hadir sebelumnya, kita dimungkinkan untuk memeriksa ulang bagaimana situasi wilayah sekitar kita dipenuhi dengan perubahan yang ekstrim. Hilangnya hutan dan menjadi kota, polusi air hingga lahan tanam yang makin menyempit. Melalui fenomena-fenomena kecil dan dekat ini kita makin didekatkan atas kesadaran bahwa intervensi manusia di dalam ruang alam saat ini telah menjadi dominasi besar di era modern yang sekiranya patut dibaca ulang. Bagaimana kita memposisikan diri dihari ini untuk dapat turut serta mengatasi persoalan ini.


Melalui berbagai teks, baik teks akademik, teks populer maupun sastra — Secara konsisten telah menyebutkan bahwa perempuan secara biologis dan sosial terkait dengan alam. Hal ini menjadi sebuah pernyataan social yang menunjukkan status dan subordinasi perempuan dengan demikian terkait dengan degradasi dan perubahan lingkungan. Yang secara tidak langsung mengetengahkan sehingga penindasan dan degradasi alam dan lingkungan sejajar dengan penindasan dan degradasi posisi perempuan [1]pada lanskap sosial.


Sementara untuk memeriksa ini, kita dapat juga melihat bagaimana perspektif internasional memiliki  persepsi gender atas manusia tentang alam, materi gender dan hubungan sosio-kultural dengan lingkungan yang bervariasi dari waktu ke waktu.


Metafora budaya ini membentuk kehidupan individu secara social  dicitrakan sebagai sosok Ibu Pertiwi. Ibu pertiwi yang dikontraskan dengan Bumi Pesawat Luar Angkasa, misalnya. Sehingga lahirlah keterhubungan kritik atas gender dan lingkungan yang memberikan wawasan tentang cara alam dan lingkungan digenderkan, dan kemudian menggunakan wawasan ini untuk menganalisis transformasi lingkungan atau merayakan hubungan dalam dimensi spiritualnya. Melaluinya terlahir tawaran untuk mendefinisi ulang nilai maskulinitas dan feminitas sebagai kategori yang dibangun secara social. Penilaian yang merugikan manusia dan lingkungan yang terkait dengan proses sosial yang lebih besar seperti kolonialisme dan pembangunan.


Di masa transisi yang terjadi secara global saat ini, kita tengah dihadapkan pada paradox dan kontradiksi atas tatanan pemikiran dan kultural yang telah mapan.  Yang salah satunya adalah mendefinisi ulang konteks atas relasi gender dan lingkungan sekitarnya bekerja — Dimulai dari yang paling dekat seperti wilayah domestik, daerah, kota maupun komunitasnya telah mengkonfigurasi Kembali peranan kedua biner kunci menjadi harmoni baru yang didorong oleh kesadaran-kesadaran yang merembes melalui ruang, waktu, dan kesadarannya.


Dalam pameran ini kami mengundang sepuluh seniman perempuan yang bekerja dengan berbagai pendekatan ide, gagasan, tema, riset kultural maupun sains dan teknologi. Para seniman yang diundang merupakan para seniman muda yang bekerja dengan konteks sosial modern yang dihadapinya di masa ini sebagai perempuan melihat sekitarnya. Berbagai eksperimen dan eksplorasi kekaryaan yang dilakukan para seniman melalui karya-karyanya menunjukan adanya upaya mengkomunikasian Kembali antara posisi individu maupun manusia secara luas dengan persoalan lingkungan (baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial). Presentasi gagasan yang dihadirkan juga merupakan sebuah lompatan untuk menemukan nalar inderawi yang dilakukan perempuan untuk merespon transisi dan transformasi masa peralihan ini. Seperti halnya Natisa Jones yang menalar sensasinya atas perubahan alam dan sosial melalui ekspresi visual abstrak dan figurasi yang menjadi representasi atas deformasi fenomena antroposentrik. Kemudian Melianta Muliawan yang secara idiosinkretik menyajikan kolase yang tersusun dari puingan object heritage yang didalamnya sangat merepresntasikan bagaimana budaya dan etnis sangat turut menentukan posisi perempuan dalam pelestarian budaya.


Keterhubungan dan stereotip perempuan dengan wilayah domestic, kerap kami digambarkan melalui symbol rumah. Rumah yang direlasikan sebagai wilayah kerja perempuan telah menjadi cara pandang sosial dan kultural yang telah mapan selama ini. Tatapan kultural ini, tengah dibongkar ulang oleh Maharani mancanegara melalui reposisi instalasi yang berbentuk pintu. Reposisi ini menunjukan Kembali tidak hanya posisi perempuan itu sendiri, melainkan juga bagaimana selama ini konsesus budaya sangat berperan dalam mendefinisi makna wilayah domestic yang juga memilki keterhubungan dengan peristiwa penting dan bersejarah.


Pada wilayah diskursus atas lingkungan, kerap kali muncul sebuah pandangan yang merumuskan bahwa inovasi serta upaya manusia dalam mereka ulang alam melalui tatapan sains dan teknologi menjadi awalan dari sederet fenomena antroposentrik dan kerusakan alam. Namun disisi lain, melalui sains kita mendapati cakrawala pengetahuan atas alam, semesta dan seisinya. Berbagai fenomena alam yang terjadi dapat didefinisi, diobservasi dan dipelajari dalam sudut pandang sangat terbuka dan obyektif. Sehingga cara bekerja secara saintifik juga menjadi sebuah wahana yang mampu memperluas wilayah kerja lainnya seperti praktik seni rupa. Praktik kerja ini dilakukan oleh Natasha Gabriela Tontey dan Inez Katamso. Melalui karyanya, Natasha melakukan pendekatan kerja berbasis riset (research based art) yang dipelintir dalam sebuah fiksi santifik. Ia menggunakan figure kecoak sebagai sebuah alegori mahluk hidup yang purba dan tidak bergender yang menemukan perannya yang penting dalam wilayah medan sosial. Sementara Inez bereksperimen dengan fungi dalam proses melukisnya. Perjumpaan fungi dengan pigmen warna dan lukis telah melahirkan sebuah perjumpaan produk modern dan rumahan yang secara natural membentuk sebuah visual abstrak yang indah dan harmoni. Dimana proses yang dilakukan oleh Inez cukup memilki relasi dengan cara Fika Ria Santika melihat relasi perempuan dengan alam. Perempuan dan alam kerap kali disejajarkan dengan keindahan, rona warna yang ceria dan hangat, namun dalam proses sehari-harinya sejatinya mengalami deformasi secara terus menerus.


Dalam relasinya antara perempuan dan alam — Kita tengah menyadari bahwa keberadaan manusia modern di hari ini tidak lepas dari posisi rumah dan pemukiman. Keberadaan setiap individu maupun entitas keluarga dapat dinyatakan melalui dimana posisi ia bermukim. Posisi ini juga sangat berkaitan dengan identitas menurut tatapan maskulin. Konstruksi rumah dan pemukiman yang ditentukan dalam bentuk arsitektural yang kokoh dan solid menunjukkan sebuah nilai atas individu maupun identitas keluarga. Oleh seniman Bunga Yuridespita, ia mencoba untuk mengubah cara pandang yang sejajar (linier) antara manusia dengan nilai kultural yang modern ini melaui tatapan non-linier yakni meliharnya dari perspektif udara (birdview) dan mendapati sebuah abstraksi visual yang disajikannya dalam medium lukis.


Subordinasi perempuan dengan alam telah menjadi multitafsir di hari ini terutama bagaimana iklim sosial secara sewenang-wenang mensterotipekan sifat alam yang feminine. Sehingga tanpa sadar kita dipersepsi atas citraan alam sebagai sketsa garis yang feminine. Intervensi kultural atas cara pandang individu atas alam dan gender digambarkan oleh Kanoko dalam karya-karya figurasinya. Kanoko tengah merekonsiliasi perspektif modern dengan kesadaran yang sangat dasar, bahwa manusia hidup dan dibesarkan oleh alam, tanpa melihat gender secara khusus. Juga seperti halnya yang dihadirkan oleh para seniman lain ; Tara Astari Kasenda, Evi pangestu dan Rega Ayunda Putri.


Tajuk Sensing Sensation secara verbal dapat diterjemahkan sebagai sensasi penginderaan. Sekaligus erat keterhubungannya dengan nalar, idera perasa, kesadaran serta akal sehat. Penginderaan sangat erat kaitannya dengan pikiran maupun perspektif atas pikiran. Dengannya kita mengenali, mengidentifikasi stimulus informasi dalam berbagai bentuk yang diterima tubuh dan membentuk pemikiran, perspektif hingga keputusan-keputusan yang termanifestasi menjadi perilaku.


Pada akhirnya, karya-karya sepuluh perupa yang hadir di ruang pamer ini menyajikan peristiwa transformative atas proses keseharian individu dengan lingkungan sehari-harinya yang sangat ditentukan oleh sensasi penginderaan setiap seniman. Melaluinya kita juga mendapati definisi ulang dan baru atas lingkungan itu sendiri dan persoalan-persolannya. Begitu banyak dinamika yang terjadi pada ruang-ruang yang sangat kecil yang kerap kali luput dari pandangan kita sehari-hari, seperti ada namun tidak hadir dan samar-samar. Semoga sensasi gagasan yang tersaji pada tiap karya pada kesatuan pameran ini menemukan ketubuhannya masing-masing pada siapapun yang berada dihadapannya.

Tabik,

Ignatia Nilu

Kurator Pameran

[1] Merchant 1980

bottom of page