top of page

Sapuan Kuas dan Kelaliman Bentuk

Image-empty-state.png
19 Agustus 2023

-

10 Oktober 2023
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

Group Exhibition by

Rudy Murdock, Pidi Baiq, Klowor Waldiyono


curated by 

Heru Hikayat

Antara Tubuh dan Monster

Oleh Heru Hikayat


Saya tahu bahwa kata “lalim” berkonotasi negatif; berupa kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan. Tapi saya seperti tidak bisa lepas dari kata ini saat membayang-bayangkan bentuk-bentuk dalam lukisan dan gambar dari 3 perupa ini: Klowor Waldiyono, Pidi Baiq dan Rudy Murdock. Hal pertama yang menurut saya menonjol dari ketiganya adalah sapuan kuas dan garis. Ketiganya menonjolkan garis sebagai elemen utama dari bentuk. Betul bahwa ada unsur warna, yang pada sebagian karyanya juga dominan, tapi pada pandangan saya, warna-warna ikut pada garis, mewujudkan bentuk. Sebagian besar garis dibentuk oleh sapuan kuas. Kita sedang berhadapan dengan 3 perupa yang menyapukan kuas pada bidang gambar dengan luwes, spontan, dan bersicepat. 


Dari situ, saya memandang bentuk. Kita mengenali bentuk-bentuknya; ada pepohonan, sulur-suluran, gunung-gunung, dedaunan, hewan, kadang manusia, kadang serupa makhluk jejadian, ada juga tempat ibadah, panorama, dan lain-lainnya. Semuanya terpiuh. Wujud-wujud terpiuh, dugaan saya sebab cara ketiganya menggaris (juga menyapukan kuas) dengan sudah tidak lagi terbebani pada acuan (bentuk) pada kenyataannya. Misalnya kita bicara anatomi tubuh, pada ketiga perupa ini, anatomi bukan lagi sesuatu yang “ilmiah”, hafalan, ataupun “realistik”. Tangan bisa memanjang, taksonomi flora–fauna diterabas, mulut melebar–menyeringai, kaki menjulur  ke sana  ke mari, barangkali juga tubuh menjelma sulur-suluran atau bahkan menyatu dengan lansekap. Kita berhadapan dengan para perupa yang pada benaknya, bentuk-bentuk menjadi. Awalnya tentu saja amatan pada kenyataan; sebab itu asosiasi masih dimungkinkan, namun kemudian saat berhadapan dengan bidang gambar, wujud di dalam benak menaklukkan wujud di alam nyata. Wujud dalam benak menaklukkan wujud nyata: inilah yang membuat kata “lalim” terus-menerus memantik saya. 


Pada proses persiapan pameran ini, studio yang pertama saya datangi adalah studio Klowor Waldiyono. Di kawasan Sleman, Yogyakarta, Klowor Art House menempati bangunan yang cukup luas. Keluasan ruang studionya segera terasa sempit sebab ada banyak sekali lukisan dan gambar yang bertumpuk. Sebagian karya terbungkus rapi, sebagian terpajang, sebagian lain sedang dalam proses pengerjaan. Di ruang kerjanya, Klowor tampak terbiasa menyamankan diri menggarap bidang gambar sembari sesekali menerima pengunjung. 


Hal yang segera memaku perhatian saya adalah, sepertinya ada 2 langgam berbeda pada karya-karya Klowor. Rupanya terdapat perbedaan penting antara karya yang dibuat di studio dengan gambar-gambar yang dibuat langsung di lokasi. Klowor punya kebiasaan menjelajah, mendatangi lokasi tertentu dan menggambar langsung di tempat. Dia bercerita sambil menunjukan sejumlah gambar yang dibuat di perahu saat menyeberang dari Cilacap ke arah Pulau Nusakambangan. Terus terang saya jadi membayangkan kecekatan dan keluwesannya dalam menggaris, menoreh, serta membidang. Apa sesungguhnya yang ia wujudkan pada bidang gambar? Tentu saja apa yang ia amati di lokasi yang didatanginya itu; sebab jika tidak berhubungan sama sekali dengan lokasi-lokasi yang sengaja ia datangi, buat apa pula dia jauh-jauh datang ke situ? Bagi kita pelihat, hubungan itu mungkin tampak kuat mungkin samar saja. Mungkin kita mengenali ada kelenteng, garis pantai, perahu, langit, atau apapun yang menandai lokasi tertentu di alam nyata. Tapi rupanya keterhubungan itu tidak penting benar, sebab yang penting adalah bagaimana bentuk, diwujudkan dengan seluwes mungkin. Silakan Anda bayangkan, di dalam perahu cepat yang berpacu di laut, Anda harus menyelesaikan beberapa gambar; Anda jelas harus cekatan, pandai memfokuskan konsentrasi dan perkara bentuk, telah “menubuh”.   


Sementara karya-karya Klowor yang dibuat di studio, kaya akan rinci. Kita dapat menelusuri bagian per bagian dari lukisan Klowor dan menemu banyak sekali rinci yang dibuat dengan ketekunan luar biasa. Cara Klowor menggarap raut dan rinci jelas telah melalui proses yang lama. Jika Klowor adalah tipe pelukis yang lekat mengamati alam, maka apa yang tampak pada karyanya bukan merupakan hasil pengamatan “apa adanya”. Ia telah menafsirkan hasil pengamatannya berlapis-lapis, melatih caranya membentuk bertahun-tahun, sebelum akhirnya wujud-wujud melenggang menampakkan dirinya pada kita. Wujud baru hasil rekaan personal, itu yang kita lihat. Sapuan kuas, sekali lagi memegang peran sentral. Dan jika Anda mau memfokuskan hanya pada sapuan kuas, maka Anda akan melihat, kelenturan, keluwesan, dan kecekatan; terlepas dari seberapa rumit pun rinci, tetap akan mengemuka. Rinci tidak membuat sapuan kuas Klowor melambat; merumit tidak berarti kaku dengan taksonomi. 


Di studio Klowor saya memilih sejumlah karya ukuran kecil dan karya ukuran besar. Saya sengaja membedakannya, karya-karya kecil adalah karya yang dibuat langsung di lokasi, sementara karya yang berukuran besar adalah karya yang dibuat di studio. Perbedaan ukuran saya harap dapat menggaris-bawahi 2 watak yang berbeda, namun saling melengkapi, dari karya Klowor.


Lokasi berikutnya yang saya kunjungi adalah studio Rudy Murdock, di kawasan Sukorejo Kota Semarang. Sesaat setelah memasuki studionya, saya terpaku pada sebuah lukisan. Lukisan tersebut, hitam putih, bukan pada kanvas, melainkan papan. Kembali, soal garis dan sapuan kuas, yang menjadi kekuatan utama. Rudy menggaris juga dengan spontan dan luwes. Sapuan kuasnya kadang “liar”. Sebenarnya saya tidak yakin dengan pilihan kata, “liar”, tapi barangkali ini pun berhubungan dengan konotasi negatif seperti pada kata “lalim”.


Pada karya Rudy, tampaknya, bentuk tidak menjadi suatu batasan bagi sapuan kuas juga garis. Bentuk justru merupakan sesuatu yang menjadi alasan bagi keliaran garis. Sapuan kuas bisa hadir melèdang dengan leluasa, tanpa terpaku pada kebutuhan merepresentasikan bentuk. Saya dalam hal ini tidak sedang menggaris-bawahi kekuatan imajinasi para perupa. Tentu saja pada karya berlanggam serupa ini, imajinasi adalah sumber utama dari ide. Saya tidak sedang mengesampingkannya. Saya hanya sedang menunjuk sesuatu yang lain: tubuh. Butuh tangan pelukis yang cekat dan luwes, untuk menghasilkan sapuan kuas yang  melèdang dengan leluasa. 


Di studio Rudy, saya pun memilih karya berukuran kecil dan besar. Bagi Rudy perbedaan ukuran bidang gambar tampaknya tidak terlalu punya pengaruh penting pun perbedaan permukaan bidang. Rudy akan menggarap sama seriusnya, baik itu kanvas besar, kertas kecil, permukaan dinding, bidang papan, payung, atau apapun. Saya yakin, jika kelak ada yang memberinya kesempatan untuk menggambari badan pesawat terbang atau kapal laut, dia akan menggarapnya dengan spontanitas dan kecekatan yang sama. 


Jika bicara warna, terkadang pada karya Rudy, warna-warna menjadi bidang-bidang. Garis dan sapuan kuas ditingkahi oleh bidang-bidang kadang kecil kadang cukup besar. Kita tidak akan menemukan rinci seperti di karya Klowor, melainkan perpaduan antara bidang dan garis yang saling menunjang memiuhkan bentuk. Bentuk selalu terpiuh. Kecepatan, kecekatan, spontanitas yang memiuhkan bentuk, sekali lagi membuat saya terpaku pada kata “lalim”.


Saya justru mengunjungi studio Pidi Baiq pada giliran terakhir. Walau kami sama-sama tinggal di Bandung, namun saya memilih untuk mengunjungi Klowor dan Rudy terlebih dulu. Salah satu alasannya, karena saya mengenal Pidi cukup lama. Saya punya cukup banyak memori tentang karya Pidi. Saya sengaja mengisi diri saya dengan amatan atas karya Klowor dan Rudy, sebelum kemudian mengalami kehadiran karya-karya Pidi di studionya, di Kawasan Lembang, Bandung Barat. 


Pidi memang masih Pidi yang saya kenal. Sapuan kuas meliar memenuhi bidang gambar adalah salah satu kekuatannya yang saya ingat. Pidi mampu menggarap bidang gambar sebesar apapun dengan sapuan kanvas yang merata kekuatannya. Kekuatannya dalam menyapukan kuas seperti terjaga oleh kekuatan ghaib: pantang kendor. Apa yang mungkin menghambat adalah justru pikirannya. Bagi sebagian orang, Pidi adalah penulis yang kocak dan “miring”. Alur dalam karya tulisnya seringkali menunjukan belokan yang tak terduga dan dipenuhi humor. Di karya lain yang kemudian melejit jadi film, “Dilan”, Pidi memamerkan kepandaiannya dalam mendeskripsikan. Pada novel Dilan, kita dapat deskripsi yang kaya dari karakter para tokohnya, juga tentang Bandung. Pembaca disuguhi paparan tentang Bandung yang mungkin mengundang untuk mengunjungi lokasi-lokasi termaksud dan mengalaminya dengan “sudut pandang berbeda”. 


Tapi dalam hal seni lukis, Pidi punya pandangan “serius”. Dia seringkali mendedahkan pemikiran yang rasional tentang lukisan atau “nasib seni lukis”. Apakah ada yang baru? Lukisan macam apalagi yang bisa ditampilkan di masa kini? Apakah sesungguhnya hakikat lukisan?      


Sebagai pencerita, Pidi terbiasa mendasarkan karyanya pada narasi. Ada narasi tertentu di tiap karyanya. Tapi sebuah lukisan tentu berbeda secara mendasar dengan sebuah novel. Jika pada novel Pidi memikat dengan deskripsi atau logika yang “miring” karena rasa humor, pada lukisan, bentuk-bentuk terpiuh dan sapuan kuas meluwes memenuhi bidang gambar. Narasi pada lukisan Pidi bisa sangat serius, tetap berbalut humor, dan semuanya ditampilkan melalui keluwesan sapuan kuas. Bentuk, dalam hal ini, harus “mengalah”. 


Pidi bukan tidak bisa menggambar secara realistik. Saya tahu, bahwa Pidi punya kemampuan meniru bentuk di alam nyata dengan rinci dan presisi. Ini perkara pilihan. Pemikirannya yang serius tentang seni lukis, kadang menurut saya mengkhawatirkan sebab dapat menghambat kecekatan dan spontanitas. Sementara, pada pameran ini, saya kira, kita sedang merayakan keluwesan (bahkan keliaran) sapuan kuas, dan bentuk-bentuk yang terpiuh. Selepas fase serius dan rasional, saat berhadapan dengan bidang Gambar, Pidi kembali menjadi sosok yang kita kenal: serba spontan dan kocak. 


Pada 3 perupa ini, bentuk ditundukan secara “lalim” oleh imajinasi yang meliar, selera artistik, kadang rasa humor, tapi di atas semua itu adalah tangan yang terus-menerus menyapukan kuas. Kelaliman yang membuat kita dapat menikmatinya secara artistik pula dan walaupun kadang terkandung di dalamnya kecemasan dan ancaman, tapi selalu ada harapan di sana.  


bottom of page