Rupa Cara Keberadaan

20 Desember 2025
-
22 Februari 2026
Jalan Taman Srigunting No.5, RW.6, Tj. Mas, Kec. Semarang Utara, Kota Semarang, Jawa Tengah 50174, Indonesia
Rupa Cara Keberadaan
How do humans understand their existence when lived experiences appear fragmented, overlapping, and constantly moving with time?
Rupa Cara Keberadaan brings together twenty-five artists from the Sakato Art Community, each grounded in distinct life experiences and ways of thinking. Through diverse visual approaches, every work offers its own perspective on how humans live, feel, and make meaning of their lives. Rather than moving toward a single conclusion, the exhibition unfolds as a meeting point of multiple readings.
Within this space, existence is traced through various paths. Questions of the self, residual processes and lived traces, the ways space is formed and understood, relationships with the surrounding world, shifts in reality, inner experience, and lingering memory together shape an intersecting field of interpretation. Through these paths, existence is read through the body, relationships, space, and awareness that continue to move alongside lived experience.
Through visual form, the exhibition opens a reflective space to reread lived experience. Rupa Cara Keberadaan invites visitors to attend to how humans are present in and experience the world through diverse visual expressions. Amid encounters with these works, how might we read again the ways we inhabit the world?
Nimas Selu Yasmine
Rupa Cara Keberadaan
Bagaimana manusia memahami keberadaannya ketika pengalaman hidup hadir dalam bentuk yang terpecah, saling bertumpuk, dan sering kali bergerak lebih cepat daripada kemampuan kita untuk memahaminya?
Pertanyaan ini menjadi titik berangkat Rupa Cara Keberadaan, sebuah pameran yang mempertemukan dua puluh lima seniman dari Komunitas Seni Sakato. Melaluinya, pameran ini membuka ruang refleksi mengenai bagaimana keberadaan dijalani, dirasakan, dan dipikirkan dalam keseharian. Keberadaan diposisikan sebagai proses yang terus berlangsung; terbentuk melalui tubuh, ingatan, relasi sosial, serta hubungan manusia dengan dunia di sekitarnya.
Dua puluh lima seniman yang terlibat membawa latar pengalaman dan sudut pandang berbeda. Perbedaan tersebut tidak diarahkan untuk membangun satu narasi tunggal. Sebaliknya, kondisi ini membuka medan pembacaan yang luas, tempat beragam pendekatan hadir sejajar dan saling beririsan. Melalui karya-karya yang ditampilkan, pameran ini memperlihatkan bahwa keberadaan dapat dipahami melalui berbagai jalur; mulai dari pertanyaan tentang diri, proses maupun jejak, hubungan dengan dunia sekitar, hingga pengalaman batin dan ingatan yang tertinggal.
Rupa Cara Keberadaan mencoba memahami bentuk visual sebagai hasil dari cara manusia mengalami dunia. Rupa muncul sebagai perwujudan dari pengalaman serta kesadaran, dan hadir sebagai bentuk visual yang membawa cara pandang terhadap dunia. Cara keberadaan merujuk pada bagaimana seseorang menjalani hidup, merespons perubahan, serta memberi makna pada situasi yang dihadapinya. Dengan begitu, pameran ini mengajak pembaca untuk merefleksikan kembali, apakah keberadaan selalu bergerak dan tidak pernah selesai didefinisikan?
Keberadaan sebagai Pertanyaan Awal
Pertanyaan mengenai keberadaan muncul paling awal melalui pencarian kedirian dan posisi manusia di dunia. Jumaldi Alfi, Muhammad Yakin, Bestrizal Besta, Abdi Setiawan, Abyu Amanda Aldi, dan Alif Lamra memulai praktiknya dari wilayah ini. Dalam karya-karya mereka, keberadaan dipahami sebagai sesuatu yang terus ditanya dan direnungkan. Tubuh, simbol, ruang, dan pengalaman batin menjadi sarana untuk mengolah pertanyaan tersebut.
Jumaldi Alfi menghadirkan perenungan mengenai hidup sebagai lapisan pengalaman yang terus bergerak dan berulang. Karyanya membuka ruang refleksi tentang kesadaran yang tumbuh melalui waktu dan pengulangan. Dalam wilayah kesadaran yang berdekatan, Muhammad Yakin mengolah wajah dan refleksi sebagai area untuk membaca identitas yang terbentuk melalui persepsi dan relasi. Elemen visual dalam karyanya menegaskan bahwa kedirian hadir sebagai proses yang selalu berubah.
Melalui intensitas yang lebih padat, Bestrizal Besta menghadirkan figur dan simbol dalam komposisi bermuatan. Tubuh dan bentuk hadir sebagai medan pertemuan antara dorongan batin dan situasi yang membentuknya. Pada wilayah yang beririsan dengan pengalaman kolektif, Abdi Setiawan membawa mitos dan relasi manusia dengan alam sebagai bahan perenungan. Figur yang dihadirkan membuka pembacaan tentang nilai, ingatan, dan tanggung jawab yang terus dinegosiasikan.
Di tataran yang lebih internal, Abyu Amanda Aldi memaknai ruang pikiran sebagai alam liar yang luas dan bergerak. Proses berkaryanya bersifat meditatif untuk membaca pertanyaan tentang kesadaran dan diri. Sementara itu, Alif Lamra menghadirkan ruang liminal yang memberi jeda pada pemahaman. Fragmen visual dalam karyanya membentuk suasana yang menunda kejelasan dan mengundang perenungan. Melalui keenam seniman ini, cara manusia berada di dunia dibaca sebagai rangkaian pertanyaan yang terus bergerak dan tidak pernah selesai.
Jejak Proses dan Sisa Kehadiran
Selain dipahami melalui pencarian kedirian, keberadaan juga dapat dikenali dari proses dan jejak pengalaman hidup. Jejak hadir sebagai sisa tindakan dan waktu yang terus membentuk cara manusia memahami keberadaannya. Dalam pembacaan ini, perhatian bergeser dari pengalaman batin menuju apa yang tertinggal dan terus bekerja. Hari Gita, Indra Dodi, dan Jhoni Saputra mengembangkan praktik yang menempatkan jejak sebagai medan pembacaan.
Hari Gita menghadirkan permukaan karya yang menyimpan lapisan perubahan dan waktu. Jejak di sini muncul sebagai akumulasi peristiwa yang terendap perlahan dalam struktur visual. Dalam pendekatan yang dekat dengan keseharian, Indra Dodi menggunakan garis sebagai catatan pengalaman hidup. Gestur visual merekam ritme aktivitas yang berlangsung spontan dan berkelanjutan. Pada wilayah yang lebih fisikal, Jhoni Saputra melibatkan tubuh secara langsung dalam proses penciptaan. Lipatan dan tekanan pada kanvas menyimpan ingatan gerak serta sentuhan.
Keberadaan hadir sebagai proses yang meninggalkan jejak. Jejak tersebut membuka pemahaman tentang bagaimana pengalaman hidup terus bergerak melampaui momen terjadinya. Sisa-sisa pengalaman hadir sebagai bagian yang membentuk cara manusia membaca keberadaan. Perhatian pada proses dan apa yang tersisa memberi ruang bagi pengalaman hidup untuk dipahami secara lebih mendalam seiring perjalanan waktu.
Ruang yang Dibentuk dan Dipikirkan
Keberadaan juga dibaca melalui ruang yang dibentuk dan cara manusia memikirkannya. Ruang dipahami sebagai hasil dari tindakan visual, pilihan material, dan susunan bentuk yang diarahkan secara sadar. Garis, bidang, dan permukaan bekerja sebagai sarana untuk mengolah pengalaman dan perhatian. Ricky Wahyudi, Tan Maidil, Saftari, dan Taufik Ermas mengembangkan praktik yang menempatkan ruang sebagai bagian dari proses berpikir.
Ricky Wahyudi membentuk ruang melalui lipatan dan perubahan pada permukaan kanvas. Susunan tersebut menghadirkan pengalaman melihat yang bergerak mengikuti jarak dan sudut pandang. Melalui pendekatan yang berangkat dari keteraturan visual, Tan Maidil menggunakan garis sebagai unsur pembentuk ruang. Ritme garis mengarahkan perhatian secara perlahan dan berkesinambungan.
Pada wilayah yang dekat dengan keseharian, Saftari memanfaatkan objek dan material sebagai penanda ruang sosial. Kehadiran benda merekam hubungan antara ruang, informasi, dan pengalaman hidup. Dalam pembacaan yang reflektif, Taufik Ermas mengembangkan kanvas bergelombang sebagai cara memikirkan ruang. Susunan dedaunan dan bayangan figur anak membuka perenungan tentang hubungan manusia, alam, dan kesadaran.
Pemahaman akan keberadaan tumbuh melalui penyusunan ruang dan dialami dari waktu ke waktu. Perhatian pada struktur dan susunan membuka pandangan tentang bagaimana pengalaman memperoleh bentuk. Dari ruang yang dipikirkan inilah, manusia menemukan cara menempatkan dirinya di tengah perubahan yang terus berlangsung.
Keberadaan dalam Relasi Dunia
Relasi dengan dunia di luar diri menjadi salah satu cara membaca keberadaan manusia. Palito Perak, Erianto ME, Erizal AS, Ricky Qaliby, Uswarman, dan Suryani Indah Sari menghadirkan karya-karya yang menautkan pengalaman manusia dengan lingkungan dan ruang hidup sekitarnya. Dunia hadir sebagai ruang hidup bersama yang terus mempengaruhi cara manusia berada.
Melalui lanskap yang terkabur, Palito Perak menghadirkan ruang yang mengendapkan jejak dan ingatan. Permukaan visualnya bekerja sebagai lapisan waktu yang mengajak pembacaan kembali terhadap titik mula pengalaman yang telah berubah. Dengan pendekatan yang personal, Erianto ME mengolah tumbuhan dalam ruang kecil sebagai penanda rindu akan alam yang kian menyempit. Warna ceria dan bentuk lembut menyimpan kesadaran tentang ruang hidup yang terus berkurang.
Fragmen warna disusun Erizal AS lewat bahasa visual bertingkat, menghadirkan lanskap yang tumbuh dari pergesekan dan keselarasan. Tekstur serta struktur cat memperlihatkan alam sebagai proses yang terus bergerak dan saling terhubung. Pada ruang refleksi personal, Ricky Qaliby memaknai gunung sebagai pengingat tentang keseimbangan dan kedalaman diri. Lanskap menjadi cermin hubungan antara manusia, alam, dan kesadaran yang berkembang perlahan.
Dalam pembacaan yang bersifat kritis, Uswarman menghadirkan bunga dan fosil capit kepiting sebagai metafora luka ekologis. Plastik tampil sebagai penanda keterikatan manusia dengan dampak yang terus membebani lingkungan hidup. Sebagai kelanjutan dari relasi yang telah terganggu, Suryani Indah Sari menghadirkan gelombang laut sebagai penanda aliran dampak dari daratan. Ombak menjadi ruang tempat kebiasaan manusia kembali dan mempengaruhi kehidupan laut serta manusia.
Relasi antara manusia dan dunia memperlihatkan bagaimana keberadaan terbentuk melalui dampak yang saling berkelindan. Dunia hadir sebagai ruang hidup yang menyimpan akibat dari setiap tindakan. Dari hubungan inilah, keberadaan dipahami sebagai proses yang berlangsung bersama ruang dan waktu.
Goyahnya Kenyataan
Kenyataan dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk melalui cara pandang dan representasi visual. Apa yang tampak hadir sebagai hasil dari pergeseran persepsi dan susunan imaji yang terus berubah. Melalui pendekatan visual, Ridho Scoot menghadirkan kenyataan sebagai rangkaian citra yang saling bertumpuk. Representasi bekerja sebagai ruang tafsir tempat pengalaman, ingatan, dan persepsi bergerak tanpa mencapai satu kepastian tunggal.
Pengalaman dan Kesadaran Diri
Pengalaman batin menjadi salah satu medan penting dalam membaca keberadaan manusia. Pikiran, ingatan, dan relasi awal dengan dunia membentuk ruang internal yang terus bergerak dan berkembang. Dalam wilayah ini, pengalaman personal dan keseharian menjadi titik berangkat pembacaan. Gusmen Heriadi, Riski Januar, Norma Fauza, dan Fauzan mengolah ruang batin tersebut melalui pendekatan yang berangkat dari refleksi dan pengalaman hidup masing-masing.
Dalam suasana gelap dan intens, Gusmen Heriadi menghadirkan fragmen visual yang menyerupai dorongan batin. Warna dan bentuk bekerja sebagai sensasi yang membuka ruang bagi penonton untuk menyelami gerak pikiran yang terus berlangsung. Pada pembacaan yang beririsan dengan ruang hidup, Riski Januar memposisikan taman sebagai ruang tersier yang merepresentasikan kelengkapan dan kemapanan. Lanskap yang tampak tenang menyimpan ketegangan antara merawat, menguasai, dan potensi konflik dalam kehidupan manusia.
Berangkat dari pengalaman perantauan dan ingatan masa kecil, Norma Fauza mengolah figur serta suasana domestik sebagai fondasi pembentukan diri. Lanskap alam dan aktivitas keseharian membentuk ruang batin yang hangat, sekaligus menjadi sumber ketahanan personal. Dalam konteks relasi awal dengan keluarga, Fauzan berakar pada tradisi manjujai untuk menghadirkan suara dan figur sebagai dasar pembentukan kepekaan batin anak. Relasi ibu, suara, dan simbol fauna membentuk ruang simbolis tentang pengasuhan dan pertumbuhan emosional.
Ruang batin hadir sebagai tempat pengalaman disimpan, dirawat, dan diolah. Dari dorongan personal hingga relasi awal dengan keluarga dan lingkungan, keberadaan dipahami sebagai proses yang terus bergerak di dalam diri. Ruang internal tersebut kemudian menjadi dasar bagi cara manusia berhubungan dengan dunia di sekitarnya.
Ingatan dan Apa yang Tertinggal
Ingatan bekerja melalui sisa-sisa pengalaman yang menetap dan mempengaruhi cara manusia merasakan hidup sehari-hari. Kehadirannya sering terasa melalui suasana, kebiasaan, dan kedekatan emosional yang terbentuk seiring waktu. Dalam karya Windi Delta, ingatan hadir sebagai pengalaman personal yang muncul melalui fragmen dan suasana yang tersisa. Jejak tersebut menghubungkan diri, waktu, dan pengalaman yang telah berlalu, sekaligus membentuk cara keberadaan dirasakan dari waktu ke waktu.
Epilog
Rupa Cara Keberadaan menghadirkan dua puluh lima seniman dalam pembacaan pengalaman menjadi manusia melalui pendekatan visual yang beragam. Setiap seniman membawa perhatian dan cara berpikir yang tumbuh dari pengalaman hidup masing-masing, sehingga pameran ini berkembang melalui banyak arah pembacaan. Yang hadir adalah rangkaian kemungkinan tentang bagaimana keberadaan dirasakan, dijalani, dan dipikirkan. Dalam pertemuan ini, keberadaan dipahami sebagai proses yang terus berlangsung dan bergerak mengikuti konteks, relasi, serta kesadaran individu. Pameran ini memberi ruang bagi perbedaan tersebut untuk berdiri sejajar dan saling berkelindan dalam satu medan baca yang terbuka.
Melalui pertanyaan kedirian, jejak proses, ruang yang dibentuk dan dipikirkan, relasi dengan dunia, goyahnya kenyataan, pengalaman batin, hingga ingatan yang tertinggal, pameran ini mengajak pembaca untuk memperlambat perhatian. Dalam perlambatan tersebut, muncul kesempatan untuk melihat pengalaman hidup dengan lebih dekat dan jernih. Keberadaan hadir melalui detail kecil, pergeseran halus, serta pengalaman yang sering terlewat dalam keseharian. Dari sana, rupa dipahami sebagai cara manusia merespons dan menempatkan diri di dalam dunia yang terus berubah.
Pada akhirnya, Rupa Cara Keberadaan hadir sebagai ajakan untuk membaca ulang hidup melalui berbagai rupa dan cara hadir. Apa yang ditemui di dalam pameran ini dapat terus bekerja di luar ruangnya, menyertai pengalaman berikutnya, dan membentuk pemahaman baru pada waktu yang berbeda. Keberadaan bergerak bersama waktu, meninggalkan jejak yang terbuka untuk dibaca kembali.
Nimas Selu Yasmine
Rupa Cara Keberadaan
How do humans understand their existence when lived experiences appear fragmented, overlapping, and often move faster than our ability to comprehend them?
This question marks the starting point of Rupa Cara Keberadaan, an exhibition that brings together twenty-five artists from the Sakato Art Community. Through this encounter, the exhibition opens a space for reflection on how existence is lived, felt, and thought through in everyday life. Existence is positioned as an ongoing process, formed through the body, memory, social relations, and human engagement with the surrounding world.
The twenty-five participating artists bring diverse backgrounds and perspectives. These differences are not directed toward building a single narrative. Instead, they open a broad field of reading, where varied approaches stand side by side and intersect. Through the works presented, the exhibition shows that existence can be understood through multiple paths, ranging from questions of the self, processes and traces, relationships with the surrounding world, to inner experience and lingering memory.
Rupa Cara Keberadaan seeks to understand visual form as a result of how humans experience the world. Form emerges as an embodiment of experience and awareness, appearing as a visual expression that carries a particular way of seeing the world. Ways of being refer to how a person lives, responds to change, and gives meaning to the situations they encounter. In this sense, the exhibition invites reflection on whether existence is always in motion and never fully resolved.
Existence as an Initial Question
Questions of existence first emerge through the search for selfhood and humanity’s position in the world. Jumaldi Alfi, Muhammad Yakin, Bestrizal Besta, Abdi Setiawan, Abyu Amanda Aldi, and Alif Lamra began their practices from this territory. In their works, existence is understood as something continuously questioned and contemplated. The body, symbols, space, and inner experience become means through which these questions are explored.
Jumaldi Alfi presents reflections on life as layers of experience that move and repeat over time. His works open a space for reflection on awareness that grows through duration and recurrence. In a closely related register of consciousness, Muhammad Yakin processes faces and reflections as areas for reading identity shaped through perception and relationships. The visual elements in his works emphasize selfhood as a constantly changing process.
With a denser intensity, Bestrizal Besta presents figures and symbols in charged compositions. Bodies and forms appear as meeting points between inner drives and shaping circumstances. In a realm intersecting with collective experience, Abdi Setiawan brings myths and human relationships with nature into contemplation. The figures he presents open readings on values, memory, and responsibilities that remain in negotiation.
At a more internal level, Abyu Amanda Aldi understands the space of the mind as a vast and moving wilderness. His creative process takes on a meditative quality in addressing questions of consciousness and the self. Meanwhile, Alif Lamra presents liminal spaces that introduce pauses in understanding. Visual fragments in his works create atmospheres that delay clarity and invite contemplation. Through these six artists, ways of being in the world are read as a series of questions that continue to move and remain unresolved.
Traces of Process and Residual Presence
Beyond the search for selfhood, existence can also be recognized through processes and the traces of lived experience. Traces appear as remnants of actions and time that continue to shape how humans understand their existence. In this reading, attention shifts from inner experience toward what remains and continues to operate. Hari Gita, Indra Dodi, and Jhoni Saputra develop practices that position traces as a field of interpretation.
Hari Gita presents surfaces that store layers of change and time. Here, traces emerge as accumulations of events that slowly settle within visual structures. Working close to everyday life, Indra Dodi uses lines as records of lived experience. Visual gestures capture rhythms of activity that unfold spontaneously and continuously. In a more physical register, Jhoni Saputra directly involves the body in the act of creation. Folds and pressures on the canvas retain memories of movement and touch.
Existence appears here as a process that leaves traces. These traces open an understanding of how lived experience continues beyond the moment in which it occurs. Residual experiences shape how existence is read, while attention to process and what remains allows lived experience to be understood more deeply over time.
Spaces Formed and Thought Through
Existence is also read through space and the ways humans think about it. Space is understood as the result of visual actions, material choices, and consciously directed formal arrangements. Lines, planes, and surfaces function as means to process experience and attention. Ricky Wahyudi, Tan Maidil, Saftari, and Taufik Ermas develop practices that place space at the center of thought.
Ricky Wahyudi forms space through folds and transformations on the surface of the canvas. These arrangements produce visual experiences that shift according to distance and viewpoint. Through an approach grounded in visual order, Tan Maidil uses lines as fundamental elements in constructing space. The rhythm of lines guides attention gradually and continuously.
Operating close to everyday contexts, Saftari employs objects and materials as markers of social space. The presence of these objects records relationships between space, information, and lived experience. In a reflective reading, Taufik Ermas develops undulating canvases as a way of thinking through space. Arrangements of foliage and the shadow of a child’s figure open contemplations on relationships between humans, nature, and consciousness.
Understanding existence grows through the structuring of space and its experience over time. Attention to structure and arrangement reveals how experience takes form. From spaces that are thought through, humans find ways to position themselves amid ongoing change.
Existence in Relation to the World
Relations with the world beyond the self form another way of reading human existence. Palito Perak, Erianto ME, Erizal AS, Ricky Qaliby, Uswarman, and Suryani Indah Sari present works that connect human experience with surrounding environments and lived spaces. The world appears as a shared living space that continually influences how humans exist.
Through blurred landscapes, Palito Perak presents spaces that contain sediment traces and memories. Visual surfaces function as layers of time that invite a rereading of altered points of origin. With a personal approach, Erianto ME processes plants within confined spaces as markers of longing for a natural world that continues to shrink. Bright colors and gentle forms hold an awareness of diminishing living space.
Erizal AS arranges fragments of color through a layered visual language, presenting landscapes that grow from friction and harmony. Texture and paint structure reveal nature as a process that continues to move and interconnect. In a space of personal reflection, Ricky Qaliby understands mountains as reminders of balance and inner depth. Landscapes become mirrors of relationships between humans, nature, and slowly evolving awareness.
In a critical reading, Uswarman presents flowers and fossilized crab claws as metaphors for ecological wounds. Plastic appears as a marker of human entanglement with impacts that continue to burden the environment. As an extension of disrupted relations, Suryani Indah Sari presents ocean waves as indicators of impacts flowing from land to sea. Waves become spaces where human habits return and affect marine life as well as human existence.
Relationships between humans and the world reveal how existence is formed through interwoven consequences. The world appears as a living space that holds the results of every action. From these relations, existence is understood as a process unfolding alongside space and time.
The Instability of Reality
Reality is understood as something shaped through ways of seeing and visual representation. What appears is the result of shifting perception and continuously changing arrangements of imagery. Through visual approaches, Ridho Scoot presents reality as sequences of overlapping images. Representation functions as a space of interpretation where experience, memory, and perception move without reaching a single certainty.
Experience and Self-Awareness
Inner experience becomes an important field for reading human existence. Thought, memory, and early relationships with the world shape internal spaces that continue to move and develop. In this realm, personal experience and everyday life become points of departure for interpretation. Gusmen Heriadi, Riski Januar, Norma Fauza, and Fauzan engage these inner spaces through approaches grounded in reflection and lived experience.
In dark and intense atmospheres, Gusmen Heriadi presents visual fragments that resemble inner impulses. Color and form operate as sensations that open space for viewers to enter ongoing movements of thought. In a reading intersecting with lived space, Riski Januar positions gardens as tertiary spaces representing completeness and stability. Landscapes that appear calm contain tensions between care, control, and potential conflict in human life.
Drawing from experiences of migration and childhood memory, Norma Fauza processes figures and domestic atmospheres as foundations of self-formation. Natural landscapes and everyday activities create inner spaces of warmth and personal resilience. In the context of early familial relations, Fauzan draws upon the tradition of manjujai to present sound and figures as foundations for shaping a child’s emotional sensitivity. Relationships between mother, voice, and animal symbols form symbolic spaces of care and emotional growth.
Inner space appears as a place where experiences are stored, nurtured, and processed. From personal impulses to early relations with family and environment, existence is understood as a process that continues to move within the self. These internal spaces become the basis for how humans relate to the world around them.
Memory and What Remains
Memory works through residual experiences that settle and influence how humans feel in their daily lives. Its presence is often sensed through atmosphere, habit, and emotional closeness that develops over time. In the works of Windi Delta, memory appears as personal experience emerging through fragments and lingering atmospheres. These traces connect self, time, and past experience, shaping how existence is felt across time.
Epilogue
Rupa Cara Keberadaan brings together twenty-five artists in readings of the human experience through diverse visual approaches. Each artist contributes attention and ways of thinking shaped by lived experience, allowing the exhibition to unfold through multiple directions of interpretation. What emerges is a range of possibilities for understanding how existence is felt, lived, and thought. In this encounter, existence is understood as an ongoing process that moves in relation to context, relationships, and individual awareness. The exhibition provides space for these differences to stand side by side and interweave within an open field of reading.
Through questions of selfhood, traces of process, spaces that are formed and thought through, relations with the world, instability of reality, inner experience, and lingering memory, the exhibition invites viewers to slow their attention. In this slowing down, opportunities emerge to see lived experience more closely and clearly. Existence appears through small details, subtle shifts, and experiences often overlooked in everyday life. From this perspective, form is understood as a way humans respond to and position themselves within a changing world.
Ultimately, Rupa Cara Keberadaan stands as an invitation to reread life through multiple forms and ways of being present. What is encountered within the exhibition may continue to work beyond its space, accompanying future experiences and shaping new understandings over time. Existence moves with time, leaving traces that remain open to be read again.
Nimas Selu Yasmine
























