top of page

Membaca Ulang Damalung Di Ruang Kontemporer

Image-empty-state.png
25 November 2023

-

21 Januari 2024
Semarang Contemporary Art Gallery, Jalan Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

Seniman

Alodia Yap • Andy Sueb • Bagus Panuntun

Ferdinandus Erdin • Hananingsih • Jimmy Trismunawan

Karya Tridhatu • Kidung Paramadita • M. Fatchurofi

Meygitha • Sirin Farid Stevy • Yuyut Baskoro


Kurator

Rendra Agusta

Damalung: Uriping Buwana - Uruping Bawana



Did you know about Damalung?


I apologize, but as of my last knowledge update in January 2022, I still do not have information about the term "Damalung." It's possible that this term is very specialized, localized, or emerged after that date, and thus, it's not within my knowledge base. If you could provide more context or details about what "Damalung" refers to, I would be happy to try to assist you further based on the information I have.


Begitulah jawaban salah satu alat kecerdasan buatan Chat GPT ketika saya menanyakan informasi tentang Damalung. Mungkin hal ini juga menjadi jawaban sebagian besar masyarakat kita hari ini ketika kita tanyakan “apa itu Damalung?”


Damalung adalah salah satu leksikon yang hilang, tenggelam, dan terkubur ratusan tahun yang lalu di dalam ingatan peradaban kita. Sang Hyang Damalung adalah nama tua dari gunung Merbabu, sebuah gunung suci yang disebut dalam Prasasti Kuti tahun 840 Masehi. Seribu tahun kemudian, tahun 1450 Masehi, catatan mengenai gunung ini juga ditemukan seperti Prasasti Damalung, rasasti yang ditemukan di perkebunan warga dusun Ngadoman Kabupaten Semarang. Terpujilah Śaraswati, Terpujilah Maha Gunung Merbabu, sumber kehidupan dunia. Begitulah terjemahan baris pertama Prasasti Damalung. Sayangnya prasasti itu masih disimpan di Leiden Belanda. Pada sebuah kesempatan, Romo Kuntara Wiryamarta,S.J., pernah mengunjunginya dan berkata kepada prasasti itu “kapan kamu pulang?” faktanya memang sejak tahun 1872 prasasti ini sudah dibawa ke Leiden dan belum kembali lagi ke negeri ini. Prasasti ini adalah salah satu artefak tulis yang menunjukkan keberadaan gunung Merbabu sebagai Puja Mandala. Dalam prasasti ini, gunung Damalung ditempatkan sebagai sumber kehidupan dan ilmu pengetahuan dengan memuja Sakti Siwa, Sri Śaraswati. Pada kisah Bujangga Manik yang ditulis pada abad 15 atau awal abad 16, diceritakan perjalanannya ke tempat-tempat suci di Jawa. Naskah tersebut juga menyebutkan gunung Bromo “Datang ka gunung Brahma” dan gunung Merbabu “cunduk ti gunung Damalung” sebagai salah satu gunung yang menjadi pusat pengajaran keagamaan Buda (Noorduyn,  1982, hal. 427).


Tradisi tulis di kawasan Merapi-Merbabu dikenal setidaknya abad XV hingga XVIII. Naskah-naskah dari kawasan tersebut sering disebut dengan koleksi Merapi-Merbabu, hal ini dikarenakan mayoritas penulisan naskah-naskah tersebut berada di gunung Mandrageni (nama lama gunung Merapi) dan Damalung atau Pamrihan (nama lama gunung Merbabu).  Ada sebuah hipotesa yang menyatakan bahwa penyalinan naskah ini dimulai di era Mataram Kuna yang dilanjutkan sampai dengan masa Kraton Mataram Islam, Kartasura, Surakarta dan Yogyakarta (Molen &  Wiryamartana, 2001, hal. 51). Koleksi ini ditemukan di lereng gunung Merbabu pada tahun 1820, milik seorang Ajar bernama Windusana. Pada tahun 1852 naskah-naskah ini dibeli oleh Bataviaadsch Genootschap, dan sekarang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republiik Indonesia (Molen, 2011,  hal. 135). Naskah ini berjumlah 390 buah, 357 naskah, 27 naskah ditulis Aksara Jawa, 330 lainnya ditulis dalam aksara Jawa Kuna (Bleeker, 1852, hal. 6). Menurut Ranggawarsita dalam naskah bernomor KBG 208, aksara-aksara itu dipakai oleh para rohaniawan pegunungan, punika aksara buda ingkang kaangge para ajar-ajar ing rĕdi. Karya pengetahuan yang dilahirkan dari cendikiwan pegunungan itu seperti parwa, kakawin, kidung, mantra, primbon, pengobatan, dan lain-lain.Istilah Damalung berangsur-angsur hilang dari penyebutan masyarakat, pelbagai arsip kolonial dan babad kraton secara konsisten menyebutnya dengan Merbabu. Pemerintah kolonial melihat Merbabu sebagai salah satu aset pengembangan perkebunan mono kultur seperti kopi, tembakau, cengkeh, dan kepentingan wisata.


Damalung Blueprint


Membaca Ulang Damalung di Ruang Kontemporer merupakan salah satu langkah yang menarik untuk mencoba menggali tiap layer peradaban alam dan manusia pegunungan. Damalung Blueprint adalah upaya-upaya memahami kembali ke delapan titik di gunung Merbabu bersama para peneliti seperti Tri Subekso-Arkeolog, Akhriyadi Sofian-Antropolog, Dewi Wulansari-Periset Seni, dan saya sebagai pembaca naskah-naskah kuno. Tridhatu menampilkan lukisan yang dominan menggunakan warna biru sebagai representative blue-print, gambar rencana yang mulai dipopulerkan oleh John Herchel pada tahun 1842. Pada saat yang sama eksplorasi naskah-naskah kuno di gunung Damalung juga sedang berlangsung. Tridhatu menghadirkan delapan lukisan yang merepresentasikan delapan titik scriptorium Damalung seperti Udan Wewe yang diilhami dari teks pemanggilan hujan dan kultus pemujaan Hanoman di masa lampau. Selain itu, lukisan berjudul “Byegegeg” memotret perubahan kepercayaan masyarakat dari tradisi “Buda” ke Abrahamik. Karya lain adalah instalasi musik berjudul Timboa, sebuah karya yang berbahan kayu Timboa (Garuga pinnata Roxb.), kayu yang juga menjadi akar penamaan desa tertinggi di lereng utara Merbabu. Rangkaian perjalanan penelitian, residensi, dan penciptaan karya atas pembacaan ulang Damalung terdokumentasi dengan epik dalam film dokumenter oleh Tatang A.Riyadi. Film dokumenter ini merangkum keseluruhan kehidupan masyarakat di lereng Merbabu pada masa kini, dari titik pertama di Ngadoman hingga titik ke delapan searah jarum jam.


Buwana


Lanskap pegunungan juga menjadi salah satu sumber kekaryaan Bagus Panuntun, instalasi berjudul “Volcano”. Karya bermaterial fiberglass dan metal ini menangkap pelbagai peristiwa yang terjadi di atas permukaan bumi, dimana ceruk topografis memungkinkan kekhasan kebudayaan masing-masing area. Lanskap juga ditangkap oleh Kidung Paramadita dalam karya wastra “Para Meru”. Meru dalam bahasa Sansekerta berarti gunung. Istilah ini lekat dengan kisah pemindahan gunung dari Jambudwipa ke Jawadwipa dalam Tangtu Pagelaran dimana puncak Mahameru kemudian dianggap mampu menyeimbangkan pulau Jawa. Damalung sendiri juga disebut dengan Merbabu atau Meru-Apuy, gunung berapi. Tujuh wastra dengan karakter berbeda ini menarik untuk memahami saptarga dan saptarsi di dalam masyarakat Jawa Kuna. Kidung juga membuat satu penghayatan atas konsep “Sunya Marga” menuju alam bhuvarloka dalam dalam “pusaran, aum, hayat, dan nur”. Karya Ferdinandus Erdin juga memukau dengan memadukan unsur kubistik dan oval. Tangkapan lanskap Erdin sendiri memantik kesadaran akan keberadaan entitas dan identis, pertarungan binary konsep dan relasi konstelatifnya “atas-luas, buruk-benar, hancur-cipta”.


Bawana


Di atas lanskap bumi yang menjulang, pada garis “imaji” topografi tertentu, manusia hidup memandang gunung. Gunung Damalung menjadi lekat dalam ingatan manusia dari zaman ke zaman. Pandangan antroposentrisme membuat porsi pencatatan manusia dalam sejarah kita makin masif, tak terlepas pula porsi pencatatan manusia dan relasinya dengan gunung Damalung. Selain Bujangga Manik, kisah seorang pangeran dari Tatar Sunda yang belajar ilmu di Damalung, tercatat pula perjalanan manusia menuju penyempurnaan diri dalam kidung-kidung Merapi-Merbabu. Salah satu yang menawan adalah perjalanan Ki Surajaya, ia melakukan perjalanan mencapai kesempurnaan di gunung Damalung. Pengembaraan ini ditangkap Hananingsih dalam karya “Anglelana Angideri Bumi”. Karya ini memuat aktivitas lelana brata, perjalanan dan pengembaran manusia bertemu Ajar-ajar di pegunungan. Kisah “Orang-orang Suci Merbabu” ini juga menjadi ide penciptaan lukisan Andy Sueb. Karya lukisan Andy menawarkan kontrastif warna biru dan kuning, dengan ide pengetahuan yang diproduksi orang-orang suci seperti teks Primbon Padukunan “Naskah Pengobatan”.


Relasi manusia dan alam Damalung tidak melulu perihal kudus. Dalam kidung Surajaya, lanskap pedesaan Jawa Kuna juga selalu terkait dengan domestifikasi tanaman pangan dan hewan ternak. Meygita menyajikan karya “Gesang Umalung” dengan kesetiaan warna merah, hitam, dan putih. Pengetahuan yang diwariskan dari generasi ke generasi tentu tak lepas dari karya para guru “Phaladwija” yang mampu mengolah “Phalawija” guna mempertahankan hirup-hurip-nya di dunia. Unsur ekologi yang beriringan dengan kebudayaan diabadikan dalam karya M.Fatchurofi “Omah”. Masyarakat pegunungan dewasa ini sering juga disebut “Sudra Papeki – Adoh Ratu Cedhak Watu”, masyarakat biasa yang jauh dari istana. Fatchurofi memandang gunung memiliki kebersahajaan dan kelekatan dengan leluhur, jauh dari hiruk pikuk permasalahan di kota-kota besar. Ayem.


Lung


Sebuah keniscayaan peradaban, manusia Damalung juga melampaui masa-masa transisi, yang tak mudah. Dalam teks Merapi-Merbabu terdapat catatan pinggir Gita Sinangsaya yang merekam peristiwa meletusnya pembunuhan Wiramenggala dan meletusnya Gedung mesiu pada masa Amangkurat I tahun 1670. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat pegunungan juga tatap-dengar berita-berita pergolakan istana. Masyarakat Damalung mengalami pergolakan perpindahan Majapahit ke Demak dan Wangsa Mataram Islam. Mereka juga mengalami perpindahan pengelolaan ekologi menjadi ruang eksploitasi perkebunan kolonial. Dalam masa-masa genting transisi kemerdekaan Indonesia, Agresi Militer Belanda, Merbabu-Merapi Complex, hingga tragedi September 1965, masyarakat “adoh ratu” ini adalah saksi mata, pun sebagian di antara mereka terenggut nyawanya, menjadi korban zaman peralihan. Peristiwa-peristiwa ini menjadi satu narasi yang kuat dalam karya “RE VOLUSI” karya Bapak Sirin Farid Stevy.


Kembali ke awal, metatext adalah upaya untuk memberitahu sistem cerdas guna mengindeks seluruh pengetahuan digital kita. Terbukti, saat tulisan ini dibuat, salah satu sistem kecerdasan buatan tidak memiliki data sama sekali tentang Damalung. Karya rupa Jimmy Trismunawan menangkap fenomena retasan-retasan manusia dari epiteks menuju metateks. Jimmy menghadirkan karya yang kritis menyikapi penerimaan algoritma berbasis kodeks, dimana setiap zaman memiliki consensus kodeks untuk menyimpan pengetahuan zamannya dari lisan hingga tulisan, dari immaterial, material, hingga memasuki alam universe.Kemajuan dan kemunduran peradaban memiliki standar adab masing-masing. Manusia mengalami pengalaman-pengalaman unik dan beragam dalam hidupnya, dalam konteks tertentu agaknya ruang religious-lah yang mendominasi akhir umat manusia. Karya “Sangkan Paraning Dumadi” dan “Lahir dan Melebur” disajikan Yuyut Baskoro ini memberi tawaran pandangan lain soal perjalanan hidup manusia dari prenatal-pascamortal.


Long


Membaca ulang Damalung adalah membaca alam dan manusia di sekitarnya, membaca bumi dan segala makhluk yang hidup di atasnya. Kembali kepada prasasti Ngadoman yang dibuka dengan kalimat oṃ Śri Śarasoti krĕta wukir hadi Damalung uriping buwana, terpujilah Śaraswati, terpujilah Maha Gunung Merbabu, sumber kehidupan dunia. Śaraswati adalah Śakti Śiwa, dewi ilmu pengetahuan yang dipuja oleh Endang, Ubon, dan Kili, para Ajar perempuan di lereng Pangubonan sisi utara Merbabu. Sisi feminim ini menjadi bagian utama dalam karya Alodya Yap “Fireflies in the darkness”. Perempuan, Ibu, dan Pertiwi sangat lekat diasosiasikan dengan bumi dalam pandangan masyarakat Jawa Kuna. Membaca seluruh karya dalam pameran ini tentunya memberi satu kesadaran baru akan pentingnya penangguhan alam antroposentrisme sempit dalam tindak kita sebagai manusia. Damalung merekam pelbagai peristiwa pasang-surut kehidupan manusia, dan memberi satu kaca benggala kepada kita, agar bijak berpijak di tapak-tapak mendatang.


Gya amaca, gya macarita, apuranta sakwehing tar waca



Kurator

Rendra Agusta



Pustaka


Bleeker, P. (1852). Verzlag der   werkzaamheden van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen,   van September 1850 tot April 1852, namens het bestuur des Genootschaps   voorgelezen in de algemeene vergadering op den 27sten April 1852.  Batavia: Verhandelingen Bataviaasch Genootschap.


Molen, W.   v. (2011). Kritik Teks Jawa: Sebuah pemandangan Umum dan Pendekatan Baru   yang Diterapkan Kepada Kunjarakarna. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor   Indonesia.


Molen, W.   v., & Wiryamartana, I. (2001). The Merapi-Merbabu manuscripts. A   neglected collection. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 157,   51-64.


Noorduyn,   J. (1982). Bujangga Maniks Journeys Through Java; Topographical Data From an   Old Sundanese Source : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,   138(4), 413-442.

bottom of page