top of page

Konstelasi Benda-benda

Image-empty-state.png
5 Februari 2020

-

4 April 2020
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

a group exhibition by

Andy Dewantoro - Eddi Prabandono - M. Irfan


curated by

Rifky Effendy


officiated by

Oei Hong Djien (art collector)

Cara kita berhubungan dengan benda-benda di dunia tak lagi sebagai akal murni yang mencoba menguasai sebuah obyek atau ruang yang berdiri di hadapannya.


(Marleau – Ponty disadur oleh Goenawan Mohamad).1)



Karya-karya tiga seniman yang dipamerkan di Semarang Gallery ini begitu memikat dengan menghadirkan rangkaian benda-benda yang mungkin pernah ada di dalam benak maupun kita temui langsung di sekitar kita. Melalui suatu rangkaian obyek temuan atau obyek gubahan yang didasari benda keseharian atau kekonkritan, maupun dengan menghadirkannya kembali ke dalam bentuk lukisan. Ketiga seniman ini mempunyai kesamaan dalam melihat obyek atau benda saat ini, tapi sekaligus berbeda dalam mengolah artistik dan tujuan masing-masing. 


Dalam konteks praktek seni kontemporer persoalan pengalaman dan interaksi manusia modern dan benda-benda industri, apakah yang terkait dengan produksi maupun konsumsi menjadi salah satu subyek yang seringkali muncul menjadi subyek utama para seniman. Maka seperti yang diungkapkan oleh kurator Ralph Rugoff bahwa seni bisa lebih dari suatu bentuk dokumen dari jamannya, bagaimana bisa seorang seniman menarik kesimpulan – kesimpulan tentang momentum dimana kita hidup di era–merujuk pada sejarawan Henry Focillon 80 tahun lalu- tidaklah “singular dan juga homogen” dan mencakup keberagaman citraan (images) dan kontradiksi yang tajam?”2)


Ketiga seniman ini, hidup dan mencerap berbagai citra dan nilai benda-benda di sekitarnya, bukan hanya dalam interaksi atau pengalaman langsung atau empiris, tetapi juga dalam serangkaian pengalaman virtual atau imajiner. 


Karya-karya Eddi Prabandono menggabungkan beberapa benda-benda industri menjadi sebuah patung atau obyek. Kadang benda-benda tersebut mempunyai konteks yang khas dalam suatu masyarakat dan waktu, menjadi suatu ingatan kepada sejarah, kejadian dan bahkan menjadi Bahasa. Kontradiksi tanda-tanda budaya kontemporer dalam konstelasi benda-bendanya Eddi diterapkan dalam sebuah karya instalasi berjudul “Sweat and Luxury” (2018) berupa becak yang digabung dengan lampu-lampu gantung (chandelier). Becak yang diasosiasikan dengan kendaraan umum terutama di Yogyakarta dan kota-kota lain, dikendarai oleh golongan kelas bawah, dipadu dengan gantungan lampu yang diasosiasikan dengan kemewahan golongan kelas atas masyarakat di Indonesia. Gabungan simbol kontradiktif seperti ini memunculkan spekulasi makna kepada persoalan kelas dalam masyarakat dan eksploitasinya, seperti misalnya kelas buruh atau petani yang bekerja lebih keras yang hasil jerih payah mereka dinikmati hanya oleh segelintir golongan.


Begitupun dengan instalasi terbarunya, “Tumpang Sari” (2020) berupa mobil bekas Mercedes tua dengan konstruksi rak besi yang berisi berbagai tanaman dalam pot. Eddi menyindir persoalan polusi udara yang berasal dari mesin-mesin mobil tua yang memproduksi emisi gas buang atau karbon ke udara yang banyak. Sebaliknya tanaman di dalam pot – pot itu menyerap dan bisa menyaring udara bersih ke sekitarnya. Kontradisi ini ia rampakan (jukstaposisi) dengan di “tumpang-sari” kan seketika melalui karyanya.


Sedangkan melalui karya-karya obyek atau instalasi seniman M. Irfan, benda-benda yang dihadirkan mempunyai kaitan dengan suatu kenangan atau ingatan-ingatan kepada kampung halaman dan berbagai kenyataan serta perubahannya saat ini, baik alam, budaya dan masyarakatnya. Karya berjudul “Hidup Segan Mati Tak Mau” (2019) berupa benda troli dengan kotak kaca yang di dalamnya kita bisa melihat tumpukan kayu berasal dari pohon buah nangka. Boleh jadi karya ini diangkat dari pengalamannya melihat kenyataan kegilaan pembalakan hutan maupun pola pembanungan di Sumatera. Karya ini pernah ia pamerkan di RUBANAH Jakarta yang berjudul Nirkias. Dikutip dari pengantar kuratorial Grace Samboh, bahwa Ia (Irfan) memulai perjalanan ini dengan keyakinan bahwa kepulauan ini perlu dialami secara spasial dan empiris dengan tubuhnya sendiri agar dapat dipahami. Perjalanan ini adalah cara konkritnya untuk mencapai pengalaman seperti itu, sama seperti instalasi barunya yang menuntut kehadiran fisik kita untuk melengkapi kekongkritannya.3)


Dengan kata lain, pengalaman-pengalaman berinteraksi dengan pemandangan, alam – budaya menghasilkan kontradiksi –kontradiksi antara apa yang diimajinasikan, yang diingat di masa lalu, kenangan dan kenyataan saat ini, sehingga menimbulkan dorongan untuk memberi kesimpulan atau bahkan penghakiman kepada benda-benda yang ia temukan maupun yang ia susun dan gubah. Irfan memaknai lebih jauh dengan menggunakan atau meminjam peribahasa yang ia gunakan untuk penjudulan beberapa karyanya. Karya-karya Irfan, baik obyek atau instalasi maupun lukisannya mempunyai konteks aktual yang terkait dengan berbagai persoalan lingkungan yang sering terjadi di Sumatera yang juga akhirnya merubah perilaku dan budaya manusianya. 


Berbeda dengan Andy Dewantoro, yang mempertemukan imajinasi tentang lansekap dan pengalaman empiris yang ia rekam melalui fotografi dan dipindahkan dan digubah melalui lukisan di atas kanvas. Konstruk tentang suatu pemandangan yang ia terima melalui citraan atau gumunan yang tersirkulasi melalui dunia maya, yang kemudian melalui pengalaman kunjungan langsungnya menemukan nilai-nilainya yang baru baginya. Pemandangan yang kita saksikan melalui lukisan maupun fotografinya menyajikan lansekap yang ganjil; dingin, tragis, terbengkalai, misterius bahkan magis. Seperti suatu pemandangan dari ambang kematian peradaban modern. Cerobong dan bangunan industrial yang tampak terabaikan (Forget Me Not, Deserted dan Sundial), atau pesawat yang teronggok di tengah hamparan salju (Deserted #2). Pemandangan yang cinematografis yang disajikan dengan perpaduan nilai-nilai kontradiktif melalui logika dan tindakan melukis di atas kanvas.


Andy menampilkan juga karya obyek gubahan berjudul Solipsism (2019), apakah berupa dua pintu mobil yang ia gabungkan sedemikian rupa. Andy mengungkapkan, bahwa seni datang kepadanya sebagai bentuk ekspresi dan dimensi. Baik dalam bentuk fotografi, lukisan, atau obyek tiga dimensi, mereka semua mendukung suatu terjemahan dimensi. Pekerjaan saya berpusat pada institusi seumur hidup saya yang terbentuk dari keterlibatan kehidupan sebelumnya. Dalam karya 3D ini Andy mencoba menghembuskan nafas hidup ke benda duniawi seperti pintu mobil.


Andy mengungkapkan tentang Solipsisme, keasyikan ekstrem dengan mengumbar perasaan seseorang. Dalam bahasa latin baru; sõlipsismus berarti “egoisme yang ekstrim. Karya seni yang saya buat tidak pernah mengungkapkan keegoisan saya tetapi untuk menunjukkan apa yang saya lihat dalam diri saya. Pintu mobil disajikan untuk finishing permukaan, dipoles dan dicat, bagian lain dari permukaan berkarat. Pintu-pintu adalah simbol dari pembukaan diri saya dengan keamanan dan rasa tidak aman saya. Saya mengekspos bagian luar saya di bagian yang sama saya menunjukkan masa lalu. Di satu sisi, saya memastikan bahwa orang-orang di sekitar saya akan selalu memiliki bagian kebaikan saya, tetapi saya tidak menyembunyikan obsesi saya terhadap masa lalu yang ada di sekitar mereka juga.”5)


Mengamati karya-karya Andy seolah memasuki suatu arena pergumulan antara kumpulan citra dan keyakinan terhadap kenyataan yang seringkali kita temui berbeda. Dominasi alam citraan dengan pengalaman empiris saling tarik-menarik, sehingga keputusan untuk menuangkan serta menyelesaikan di atas kanvas tentunya menjadi kekuatan absolut muncul dari tangan sang seniman. Antara ‘cinta dan benci’ akhirnya saling berbaur dengan membuka kemungkinan ruang spasial untuk penafsiran baru, walaupun provokatif dan ambigu tetapi memancarkan ketenangan dan keindahan yang misterius. 


Praktek seni rupa yang ditunjukan oleh ketiga seniman ini memberikan gambaran kepada perkembangan seni rupa kontemporer dengan memanfaatkan benda/obyek untuk membicarakan suatu hal. Benda-benda itu bisa menyuarakan dirinya sendiri tapi sekaligus tentang kita; dalam ruang dan waktu sekarang. Benda baik yang tersentuh (tangible) maupun tak-tersentuh (intangible) pasca Duchamp dipagari konteks pengalaman sang seniman, yang menurut Goenawan Mohammad; “pengalaman itu tidak bisa disampaikan pada kita melalui perantara konsep. Makna, dalam pengalaman itu, selalu dalam suatu konteks, dan konteks selalu terpaut ruang dan waktu, dan ruang dan waktu selalu dialami secara konkrit. Pengalaman estetik, sebagaimana proses kreatif, berlangsung dengan yang konkrit itu; materialitas unsur-unsur yang melekat erat dalam proses penciptaan. Artinya tubuh, hasrat di bawah sadar, ruang dan suhunya, kanvas dan teksturnya, kayu dan besi dengan kekedapannya.“4)



Bandung 23 Januari 2020.




Catatan :


1) Goenawan Mohamad. Tatapan Jaka Tarub. Pigura Tanpa Penjara, Esai-Esai Seni Rupa. Shira Media. Yogyakarta. 2019. Hal. 77. 

2) Ralph Rugoff, May You Live In Interesting Times. Short Guide. Biennale Arte 2019. Venice.2019. Hal. 36.

3) Grace Samboh. E-catalogue NIRKIAS. Pameran tunggal M. Irfan. Rubahah Hub. Jakarta.

4) Goenawan Mohamad. Djoko Pekik. Sebuah “Realisme” Lain. Op. Cit. Hal. 151.

5) Perbincangan dengan Andy Dewantoro melalui pesan whatsapp. 29 Januari 2020.

bottom of page