FORMLESS: on Human Artifice and Natural Order
25 Maret 2022
-
28 Mei 2022
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia
a group exhibition by
Alexander Sebastianus · Gabriel Aries · Irfan Hendrian · Radhinal Indra · Widi Pangestu
written by
Ganjar Gumilar
FORMLESS:
on Human Artifice and Natural Order
TAK-BENTUK:
di antara Daya Cipta Manusia dan Keberaturan Semesta
Gumilar Ganjar
Pengantar
Manusia mencipta budaya dan semesta melalui alamnya bertalian dalam pendampingan yang berdinamika sedemikian rupa. Dalam beragam upaya kita mencoba memahaminya, secara gradual membuka tabirnya untuk menggali makna yang ada di intinya. Hingga sekarang pun tak pula misteri semesta itu kita pahami seutuhnya terlepas dari beragam cara yang kita coba: dipetakan strukturnya melalui logika, dikonstruksikan melalui bahasa, serta diresponnya melalui seni rupa. Barangkali, hanyalah kita manusia satu-satunya makhluk yang bisa memisahkan diri dan tak perlu tunduk pada kuasa semesta. Entah ini anugerah atau petaka1, atas didapatkannya kognisi dan kesadaran yang sejauh ini masih secara eksklusif dimiliki manusia2. Seolah menjadi buah simalakama, tiap kali kita merasa selesai menjawab sebuah persoalan, muncul lagi pertanyaan baru di sana. Bolehjadi kebenaran itu tak akan pernah bisa kita pahami seutuhnya, namun bukan berarti ragam upaya mendekatinya menjadi sia-sia. Banyak makna dan kebijaksanaan di sana.
Saat ini peradaban sudah mencoba lebih etis ketika berhadapan dengan semesta dengan mulai memaknai dan menerapkan arti makna kesaling-terkaitan, keterhubungan, serta keberlanjutan. Meski tak pula upaya ini sudah secara masif diberdayakan, setidaknya percikan kesadaran ini perlahan dipromosikan untuk mencapai keseimbangan. Tak mudah memang menyadari hal ini, didapatkannya pula melalui pencerminan yang tak sebentar. Beragam pencerminan dan perkembangan kesadaran dari sebelum masa sejarah, periode tradisi, kebudayaan klasik, pencerahan dan modernitas, serta saat ini kemutakhiran, terjalin dalam pertautan yang mengantar kita pada kedewasaan pemikiran.
Bercermin ke belakang, masyarakat tradisi hidup merengkuh dan tunduk pada kebesaran semesta yang memelihara. Alam selalu diibaratkan memiliki daya yang melampaui kekuatan manusia. Disikapinya semesta melalui pemujaan sebagai perwujudan ungkapan syukur atas keberadaan dan kebesarannya, juga sebagai cara menjaga keseimbangan. Dari sisi pengetahuan, narasi alam dikonstruksikan melalui ragam mitologi yang kaya dengan narasi simbolik, tak berlandaskan logika memang, namun tetap mengandung banyak nilai kebijaksanaan di sana. Tak jarang nilai itu masih kita temukan relevansinya, utamanya tentang keseimbangan, pengorbanan, ketaatan dan kepatuhan, kausalitas, serta beragam lainnya. Fase ini adalah yang terlama yang pernah dilalui kita, sebelum kita ‘mereduksi’ diri pada rasionalitas yang memberikan landasan pada pemusatan diri di atas semuanya.
Manusia modern punya cara lain dalam memahami semesta. Beragam pertanyaan yang sebelumnya dipenuhi spiritualitas kemudian dirasionalisasikan dan dianggapnya sudah terjelaskan. Gejala-gejala alam yang sebelumnya dirasa terberi dan melampaui diri, dipetakan polanya dan dibangun landasan rasionalnya. Mungkin bagi manusia modern, semesta ini dipahaminya sebagai ‘dunia’, yang lebih sekuler daripada sebelumnya. Setelah dimengerti, alam dunia kita lihat menawarkan sumber daya, mulai kita gunakan, hingga akhirnya dieksploitasi. Merasa tak perlu mundur melalui ketaatan pada daya-daya magis dan spiritual alam, manusia melalui logikanya merasa bisa mendapatkan otonominya. Beriringan dengan itu pemusatan dunia dialihkan pada kita manusia, antroposentris katanya. Tak pernah sebelumnya satu spesies menjadi begitu berkesadaran dan merasa punya formula untuk secara positif3 merasa produktif memproduksi pengetahuan tentang semesta. Kekerdilan dan perasaan inferior yang sebelumnya dihayati, berganti menjadi kebanggaan diri dan perasan superior. Melalui produksi pengetahuan saintifik, kita akan menguasai dunia, katanya.
Dalam kurun yang relatif tak begitu lama, perasaan berkuasa manusia itu mulai disangksikan oleh alam. Kreasi manusia dan daya ekslopitasinya mulai mencoreng keberlanjutan dan keberlangsungan penopangan kehidupan. Ketika hidup dan mati menjadi taruhannya, mau tidak mau manusia harus melakukan pencerminan serta perubahan. Sayangnya, perubahan ini belum bisa secara sepenuhnya dilakukan terbentur biasanya oleh warisan - jika bukan kutukan - relasi kuasa, ekonomi, serta infrastruktur modern yang telah sedemikian rupa menyerabut. Namun setidaknya advokasi di wilayah kesadaran ini mulai mengantarkan sebuah harapan tentang sebuah perimbangan.
Alam, Semesta, Dunia, Budaya, dan Seni Rupa
Dinamika sikap dan pandangan manusia terhadap alam juga banyak terungkap melalui seni dan budayanya. Pada masyarakat tradisi, seni yang berfungsi sebagai ungkapan simbolik yang seringkali spiritual itu umum dimanifestasikan dalam narasi-narasi mitologis tentang kebesaran Pencipta yang kemudian diturunkan menjadi ajaran-ajaran moral. Dalam narasi-narasi itu, alam sering muncul sebagai sebuah metafor atas kebesaran entitas-entitas Ilahiah. Seni rupa pun banyak beroperasi di wilayah ini, sebagai media dan instrumen kunci yang berfungsi untuk menjaga keseimbangan semesta melalui laku ketaatan dan kepatuhan. Bentuk seringkali hadir sebagai ‘abstraksi4’ simbolik dari esensi keterhubungan alam manusia dan Pencipta, yang di dalamnya terkandung nilai, moral, serta kebijaksanaan.
Keterkaitan seni dengan semesta serta spiritualitas itu kemudian diputuskan pada seni modern. Melalui gestur gelagat serta basis operasinya, ia menjadikan dunia sebagai panggung untuk menunjukkan cipta manusia yang artifisal. Panggung itu dibayangkan sebagai ruang simulasi steril yang terisolasi dari apa-apa yang ada di sekitar, termasuk pun alam. Semua hal selain seninya dianggap kontaminan, dibangunnya konvensi sebagai landasan dan batasan di bawah dalih pemurnian dalam pencarian bentuk-bentuk signifikan5, semangat yang dilabelinya formalisme. Esensi bentuk, medium dan material - bahkan hingga infrastruktur - semuanya dikonstruksikan menekankan keutamaan manusia itu. Ironisnya, afirmasi terhadapnya seolah menjadi prasyarat penting untuk menjadi ‘kultural’, menuju dan memercayai yang artifisial sebagai bentuk keutamaan yang satu-satunya. Ada satu ukuran yang ditawarkan di sana: semakin jauh sebuah bentuk dari rujukan asalinya6, posisinya kian menjadi ‘kultural’. Konsekuensinya, yang natural disengaja untuk dipinggirkan.
Gugatan pada modernisme sendiri sebetulnya tidak hanya ‘ditunjukkan’ oleh alam yang mengindikasikan tercorengnya keberlangsungan, dari sisi sosial kemanusiaan pun kritik itu juga tersalurkan. Menyadari bahwa pemurnian dan pembatasan tidak selalu bernilai kebaikan, perkembangan seni berikutnya mulai kembali mengaitkan diri dengan persinggungannya di sekitar. Bentuk kemudian merangkul konten dan isu perbincangan, seni rupa pun kembali merepresentasikan persoalan.
Isu-isu alam yang sebelumnya terputus kemudian kembali diperbincangkan dalam seni rupa saat ini, beroperasi secara lebih spesifik pada konteks lingkungan hidup. Berbeda dengan masyarakat tradisi yang relatif lebih mawas diri serta mencari keseimbangan dalam ketaatan melalui ekspresi seninya, masyarakat mutakhir memanfaatkan seni sebagai kanal kritis untuk membongkar kesemenaan manusia dalam mengelola lingkungan. Seni kemudian mencitrakan, mencerminkan, mensimulasikan, dan merepresentasikan bagaimana beragam aktivitas manusia berdampak pada tergesernya keseimbangan alam hingga pada tingkat yang tak terbayangkan sebelumnya. Untuk ini, seni kemudian melebur dengan aktivisme, berfungsi menawarkan propaganda penyadaran yang menuntut diubahnya tingkah laku dan kebiasaan, serta mengkritisi kesewenangan dan kekuasaan yang keruh melatarinya. Terlepas dari betapa mulianya upaya tersebut, sebetulnya pemeranan fungsi representasi ini tidak sepenuhnya habis menginventarisir beragam potensi dan posisi seni terhadap alam, masih ada beberapa dinamika pertalian yang disisakan dan tidak dibicarakan. Premis dan motivasi yang melandasi gagasan pameran ini pun diarahkan kemudian untuk menjangkau hal tersebut: melihat potensi seni untuk melampaui representasi dan bahasa utamanya tentang keterikatan manusia dan semesta.
Formless / Tak-Bentuk
Di sini, saya akan mencoba mengunjungi sebuah konsep, yakni formless7 (akan kemudian diterjemahkan sebagai tak-bentuk8) sebagai landasan kuratorial sekaligus titik berangkat dalam membingkai karya-karya yang dipamerkan. Tak-bentuk dapat mengantarkan kita pada sifat-sifat formal yang ‘diperoleh’ dari alam, yang bertolak belakang terhadap ‘yang terbentuk’, atau yang mengikuti asas formal, juga yang katanya kultural. Seni modern menampik signifikansi tak-bentuk karena terkesan ‘keseharian’ dan berserakan di sekitar, dilihat sebatas sebagai ketidak-sengajaan yang insidental, bertolak belakang dengan penciptaan seni yang semestinya intensional. Beragam prinsip formal seperti kesatuan, keselarasan, penekanan, irama, dan gradasi kita rumuskan sebagai batasan untuk memilah buatan manusia dan gejala alam. Ketikapun alam menunjukkan potensi-potensi keindahan9, seperti pada bentuk kristal maupun bias cahaya semisal, kita reduksinya sebagai gejala empiris yang cukup diamati dan ‘diukur’ oleh ilmu pengetahuan, dianggap terselesaikan semuanya dalam jangkauan pemikiran. Ada kalanya potensi estetik dari alam ini dirasa cukup patut untuk disalurkan dalam penciptaan, namun tak pernah kita maknainya secara otonom di luar bingkai pemikiran manusia. Tak-bentuk tidak dapat berdiri sendiri sebagai keindahan, untuk menjadinya ia perlu intervensi manusia, dilihatnya oleh kita sebatas sebagai media atau sumber daya.
Mungkin agak sulit membayangkan kualitas apa yang ditawarkan dari bentuk natural serta material dasar yang berserakan itu. Apa menariknya tekstur batu, kulit pohon, robekan kertas, serabut akar, tetesan getah, kontur tanah, bentuk awan, dan gejala organis lainnya? Bagaimana kemudian sifat kebentukan mereka dimaknai melampaui posisinya sebagai konsekuensi natural yang insidental, apalagi menunjukkan dinamika manusia dengan alam? Untuk memaknainya saya sarankan, perlu digugurkan dulu beragam ukuran dan prasangka kita terhadapnya. Mengapa perlu digugurkan? Apa yang salah darinya? Bukankah kita ini diturunkan untuk menjaga juga memelihara? Tapi di sisi lain banyak bukti menunjukkan tindakan dan ukuran ini tidak selalu membawa kebaikan untuk semua. Terkait dengan alam semesta, beragam upaya pendampingan yang dirumuskan melalui akal kita itu belum pula mewujud dalam kesetimbangan yang berkelanjutan. Sering kita lupa sebetulnya, bahwa kita merasa cukup hebat menentukan semuanya termasuk bagi hal-hal yang ada di luar diri kita. Dibangunnya itu semua seperti baik buruknya, melalui logika dan bahasa. Di sini skeptisisme reflektif pada diri mungkin dapat menjadi berguna. Dengan membayangkan misalnya, apa mungkin alam itu punya intensinya sendiri? Bukankah selama ini ia dapat mengatur sekaligus mengembalikan keseimbangannya sendiri? Kita merasa membutuhkan alam serta bergantung padanya, tapi apa sebaliknya demikian? Spekulasi ini memang sepertinya menyudutkan kita pada kekerdilan. Tapi setidaknya sebagai sebuah pencerminan, menggelitik kita untuk lebih bijak mencari kemungkinan. Masih ada banyak harapan dalam manusia tentunya, bukankah kita menyimpan nilai kebaikan jika ditunjang dengan kebijaksanaan?
Kebetulan, belakangan serta diupayakan oleh sebagian saja10, cerminan kritis pada pemusatan manusia termasuk konstruksi kenyataan melalui bahasa itu dilakukan. Kritik ini meruntuhkan perasaan tinggi manusia, dan menempatkan totalitas kita dalam sebuah bidang kemenjadian datar bersamaan dengan beragam unsur pembentuk semesta. Di sana kita sama nyatanya, membangun semacam kesadaran emansipatif dalam kesejajaran dimana makna, nilai, dan kebijaksanaan baru berpeluang muncul sebagai manfaat dari terjadinya interaksi dan keterhubungan antara kita dengan semesta. Tak-bentuk di sana menawarkan sebuah cara. Dengan mengolahnya, manusia dapat sedikit meretak dan membuka akses untuk mengintip pada ragam kemungkinan spekulatif itu. Dalam lapangan tersebut relasi ulang alik antara semesta dan manusia dapat terlaksana: seni memberikan ‘mediasi’ bagi alam untuk bercerita, dan manusia untuk membahas dinamika pertalian sekaligus memaknainya. Ini dimungkinkan jika sebelumnya kita menyepakati jika seni tidak selalu beroperasi dalam bingkai bahasa serta logika rasional.
Sepertinya beririsan, tak-bentuk dapat menjadi bermakna ketika ia melebur dengan cipta manusia melalui cara-cara yang khusus: dalam ruang dialog internal para seniman dan berlangsung dalam kesejajaran. Pendekatan ini tentunya berbeda dengan seni modern yang melihat posisi tak-bentuk sebagai gejala yang perlu ‘diselamatkan’ serta ditinggikan posisinya melalui intervensi manusia, semacam vertikalitas11 yang dibayangkan melintas di antara landasan material12 dasar dengan luaran bentuk akhirnya, dengan cara dijauhkan dari rujukan asalinya. Alih-alih demikian, para seniman di sini bekerja dengan cara berlainan. Tak bentuk didekatinya dalam sikap kesejajaran, mereka berdialog, berinteraksi, kemudian melakukan penjelajahan pemaknaan tentang keterhubungan antara manusia dan alam. Berikutnya mereka (umumnya) meminjam metafor sebagai antarmuka pengutaraan, atau ada pula yang secara sengaja menjadikannya kandidat pemaknaan terbuka yang mengambang, tidak dipaksa dijangkarkan pada satu atau dua kemungkinan makna. Saya rasa, tidak seluruh penyadaran dan pengetahuan itu dapat selesai diceritakan oleh para seniman, apalagi selesai ‘dibaca’ dalam sebuah pameran. Akan ada selamanya makna yang tersimpan terisolasi secara inheren melebur dengan diri para seniman, proses cipta dan riwayat berkesenian, sekaligus karyanya.
Sedikit melebarkan, intensi para seniman dalam mengolah tak-bentuk dan melampaui bahasa ini sebetulnya mengandung sebuah polemik. Karya-karyanya menjadi ‘sulit’ untuk dimaknai dan diidentifikasi, mengikuti wacana representasi yang telah begitu mensaturasi dan melandasi apresiasi seni. Karya-karya mereka terkesan non-representasional13 karena menunjukkan bentuk murni dalam beragam kemungkinan formal. Namun sebetulnya intensi mereka bukanlah mencari bentuk signifikan, melainkan secara sekaligus memperbincangkan persoalan, meski harus ‘bersembunyi’ jika bukan terlipat dalam lapisan-lapisan pemaknaan lebih dalam dari permukaan. Karya-karya mereka kemudian menjadi hibrid, berfungsi sekaligus melayani bentuk dan representasi.
Tak-bentuk dalam Karya-karya Para Seniman
Alexander Sebastianus berkesenian dalam sebuah sikap yang begitu kritis sekaligus penuh penghayatan. Sikap ini dikemukakannya melalui Sani, yang diartikannya sebagai … sebuah cara hidup yang merangkul persembahan, pencarian, dan pelayanan diri14 …, alih-alih pada ‘seni’ yang sudah begitu tersaturasi oleh bingkai dan tata acuan Barat. Manifesto ini merupakan perwujudan siap kritis dalam upaya dekolonialisasi seni yang disayangkannya lahir dari gesekan dan ekses kekuasaan. Sani kemudian menjadi sebuah sikap untuk mengkritisi seni dengan kembali menghayati tradisi sekaligus berpulang pada akar kultural15 yang relatif lebih asali. Perangkulan tradisi di sini tidak dihayatinya secara terbatas dalam upaya-upaya pemurnian yang konservatif, namun tetap dilandasi pada keterbukaan dalam upaya pencarian, menjaga sekaligus menghidupinya dengan tidak melihatnya sebagai hal statis. Mendekati seni dengan ini Alexander kemudian dapat menemukan relevansi praktiknya untuk tidak hanya berhenti di lingkup personal dan kultural, melainkan juga di tataran natural.
Wujud dari pelayanan diri dan pencarian itu nampak pada karya-karya yang dipamerkan pada pameran ini, salah satunya, Abdi Alam. Di sini Alexander melakukan interpretasi terbuka terhadap motif geometris Telupat yang sebelumnya eksklusif hanya diperuntukkan bagi Abdi Dalam yang melayani keamanan dan kestabilan Keraton untuk diperlebar pada semesta alam. Tak-bentuk yang nampak sebagai gurat-guratan pohon itu kemudian sesekali menelusup pada beberapa karyanya, untuk bertemu, mungkin beradu, jika bukan melebur dalam sebuah kesatuan. Karya kemudian menjadi ruang antara yang memfasilitasi peleburan intensi dan insiden, yang artifisial dan natural, yang terstruktur dan berserakan, serta ketertutupan dan keterbukaan, disarikan dari pemaknaan dan perenungan dalam tindak-tindak pelayanan yang penuh pencerminan dalam keterbukaan.
Gabriel Aries Setiadi, selanjutnya akan disapa Jibril, dalam pameran ini menghadirkan sikap termutakhirnya tentang daya memanusiakan yang bersumber dari keindahan. Jibril memang tidak menjadikan karyanya sebagai media untuk beropini, namun lebih kembali pada fungsi dan posisi estetika dan kaitannya dengan manusia. Sikap ini mungkin akan terkesan amat ‘modernis’, namun banyak nilai penyadaran yang ternyata melampaui bingkai tersebut di baliknya. Semula, Jibril menggeluti bebatuan dalam penciptaan patung-patungnya hingga ia sampai pada sebuah kesadaran tentang nilai kepasrahan serta daya akomodatif dari manusia dalam mengolah material untuk sampai pada keindahan dan keutamaan. Batu sudah dengan sendirinya menunjukkan kesan angkuh dan statis, yang kemudian dimaknainya dapat berubah hingga menjadi plastis ketika terus secara konsisten dan gradual menghadapi dialog dan perbincangan. Bahkan air, dalam cara-cara yang khusus, dapat mendobrak keangkuhan batu dan membuatnya menjadi lebih dinamis. Beriringan dengan aktivitas keseniannya dalam ruang-ruang publik16, Jibril menyadari bahwa material industrial seperti resin, batu, dan logam ternyata dapat berdampingan dengan yang natural menciptakan sebuah keseimbangan. Penyadaran ini yang ia sarikan menjadi sebuah pendekatan. Karya-karya Jibril belakangan kemudian menunjukkan beragam perpaduan darinya, membangun metafor keseimbangan itu melalui komposisi bentuk, persilangan dan penabrakan kontras material, perbedaan kualitas permukaan, yang kemudian dinegosiasikan dalam sebuah komposisi singular yang utuh dan ia bayangkan menjadi ‘monumental’. Ada sisi lain dari kekaryaan Jibril yang sebetulnya juga patut ditekankan, dimensi penciptaan kekaryaannya tidak sebatas menghadirkan keindahan material, meski sayangnya jarang dimunculkan ke permukaan karena dirasa terlalu praktikal. Namun sebetulnya, banyak nilai di balik sikapnya yang pragmatis tersebut.
Pengalaman untuk memenuhi kebutuhan estetik di ruang-ruang publik mengajarkannya tentang pentingnya negosiasi, tidak hanya di level sosial dan interpersonal, namun juga di wilayah eksistensial. Ia terus merevisi posisinya sebagai seniman, dan pentingnya untuk membagi dan memperlebar nilai-nilai kebermanfaatan. Ini semua terus mengantarnya pada pentingnya keterbukaan serta pemberdayaan, tidak hanya eksklusif hanya pada bidang seni itu sendiri, melainkan juga pada bidang-bidang budaya lainnya seperti seni terapan hingga pendidikan. Jauh memang kaitannya, tapi karya-karya Jibril yang menekankan keseimbangan dalam keindahan, sebetulnya banyak terpengaruh dari pengalaman dan penyadaran-penyadaran tersebut, meski ‘sayangnya’ tidak direpresentasikan dalam visualitas karya.
Menempatkan Irfan Hendrian dalam konteks seni dan alam barangkali akan terkesan ‘berlainan’. Sifat penciptaan Irfan nampak amat mekanikal dan berkesan dingin dan berjarak. Bagaimana karyanya kemudian merespon tak-bentuk yang dibicarakan dalam pameran? Hal itu dimungkinkan dalam pelandasan dengan aspek material. Beririsan dengan Jibril sebetulnya, banyak penyadaran Irfan temukan ketika ia berdialog dan berinteraksi dengan material. Bertolak dari pembelajarannya di bidang desain grafis dan percetakan, Irfan menemukan pentingnya posisi kertas dalam membangun dinamika budaya. Material ini menurutnya merupakan media dimana idea dan gagasan disimpan, dikemukakan, dan dimediasikan, sebelum akhirnya sekarang ia ‘direduksi’ kemenjadiannya sebagai kode biner yang dipertukarkan via lalu lintas informasi. Irfan melalui karyanya mengembalikan kita pada hal-hal kongkrit yang ada di sekitar melalui kenyataan material.
Cara kerja Irfan sifatnya begitu metodikal, sarat akan perencanaan, akurasi, kontrol, serta keberulangan. Di sini memang sisi ‘industrial’ dan daya cipta manusia terkesan seperti menempati keutamaan. Menariknya, tidak selalu demikian. Intensi kontrol dan perencanaan itu justru menimbulkan opsi lain yang tak terduga, mewujud dalam luaran-luaran visual tak-bentuk, ‘tunduk’ pada beragam kemungkinan insidental yang kadang tak mungkin terhindarkan. Insiden-insiden mikron dari proses penyatuan dan pengolahan lembaran kertas itu ketika diduplikasi terus menerus ternyata memunculkan hal yang penuh variasi, seolah menyadarkan kita bahwa masih ada yang hal tak terduga dapat muncul terlepas dari ragam ukuran yang diupayakan. Meski terus menggali kemungkinan tak-bentuk ini dan terkesan menjadi non-representasional, Irfan tidak bermaksud untuk seluruhnya menghilangkan potensi narasi dan representasi dalam karyanya. Hanya saja, untuk memaknainya kita benar-benar perlu lebih secara langsung mengakses material dan bagaimana ia dikonfigurasikan dalam keseluruhan karyanya, bahkan mungkin totalitas itu perlu diupayakan melalui semacam penggabungan dengan riwayat individualnya.
Radhinal Indra, berikutnya akan disapa Indra, mengambil pendekatan yang berbeda jika dibandingkan dengan seniman lainnya yang dilibatkan. Jika sebagian seniman mengakses ke dalam serta dasar dari kenyataan material, Indra justru mencoba memaknai hal-hal dalam bentangan semesta yang melampaui rentang perseptual alamiah manusia, yakni objek-objek celestial. Sepertinya karena persoalan yang diangkatnya sudah dengan sendirinya ‘melampaui’ persepsi keseharian, penerjemahan melalui beragam ukuran serta bahasa manusia agar pemaknaan tentang keterhubungan itu dapat menjadi relevan. Bahasa visual menjadi strategi tuturan yang ia yang gunakan untuk menceritakan pertalian, keterhubungan, serta pengaruh ulang alik antara manusia dengan langit semesta. Sikap ini sebetulnya, berjalan bertolak dari tujuan yang terkandung dalam pameran, namun upayanya dalam memaknai dan menjelajahi beragam pemahaman yang melampaui keseharian, menemukan pertaliannya dengan konteks dan sikap yang diajukan.
Beragam keterhubungan itu dijangkarkannya pada sejumlah konteks: yang sosial, yang kultural, yang relijius, juga yang keseharian. Untuk membangunnya, Indra banyak menghadirkan simbol-simbol idiosinkratik sebagai luaran dari pengamatan dan pemaknaan individual tentang keterhubungan dinamika benda langit dan kemanusiaan. Komposisi diagramatis kemudian, banyak digunakannya untuk menekankan tindak observasi yang mendahului penciptaan. Di beberapa karya, penggunaan elemen teks pun menjadi indikasi lain tentang pentingnya komunikasi dan representasi, yang kemudian ia tarik untuk memperbincangkan itu tadi: hal-hal yang melampaui ‘ukuran’. Bahasa, logika, dan pengetahuan, adalah beberapa sumber daya kunci yang Indra gunakan dalam mencipta karya dan membahas semesta yang diakuinya terlatari oleh lingkup familial yang sudah familiar dengan pendekatan-pendekatan saintifik. Sementara ketertarikan pada benda langit, dilanjutkannya dari keterpesonaan masa kecil dalam pengalaman perseptual bentang langit yang lebih terakses secara okular, dipengaruhi oleh kekhususan karakter geografis dimana ia kecil tinggal. Meski mengakui dilatari pendekatan saintifik dan bahasa, pilihan Indra untuk menggunakan seni sebagai media perbincangan juga sebetulnya menarik. Kekhususan apa yang ditawarkan ‘bahasa artistik’, serta kemudian praktik seni, dalam upaya memaknai kenyataan-kenyataan semesta itu?
Proses, barangkali adalah kata kunci yang dapat menjadi titik tolak dalam perbincangan Widi Pangestu bersamaan dengan karya-karyanya. Dalam karyanya Widi secara sadar mencoba untuk menghindari representasi, melalui eksplorasi dan eksperimentasi material, untuk saat ini kembali pada kualitas-kualitas dasar darinya. Tentang mengapa ia memilih demikian, itu bertolak semacam kegelisahan, bahwa adanya kemungkinan lain dari penciptaan dan apresiasi seni yang tidak perlu selalu dibatasi oleh representasi. Diakuinya memang, bahwa di tahap ini sikapnya itu masih belum menuju pada sebuah kematangan kesadaran dan penghayatan filosofis, namun kesadaran kritis di baliknya - tentang sejarah seni, konvensi material, serta representasi seni yang telah menjadi determinan - sepertinya mencukupi untuk menjadi bahan bakar yang terus mendorong eksplorasi dan eksperimentasi itu.
Pergaulan Widi dengan kertas bersamaan dengan segala prosesnya itu masih ada dalam wilayah pencarian, dijelajahinya pengolahan kualitas dasar (raw) dari bubur kertas itu dalam beragam kemungkinan. Dicampurnya material alam dan industrial, dicetaknya kemudian melalui cara-caranya yang partikular. Tak-bentuk tentunya secara inheren tentunya sudah menubuh dalam karakter material yang digunakan, untuk kemudian Widi antarkan dengan beragam perlakuan hingga ia menawarkan semacam sikap yang samar-samar. Sikap ini yang kemudian ia sadari dan coba ejawantahkan, beberapa ada yang terkesan fraktal, beberapa beraturan, beberapa menunjukkan keterkaitan, beberapa saling berbatasan, dan lain sebagainya. Dalam upaya pencarian yang intuitif itu, Widi sebetulnya tidak hanya sedang mencarikan ‘bentuk’ dalam cipta material yang dilakukan, namun secara bersamaan juga berupaya menemukan dirinya sekaligus tujuan dari seninya, melalui peleburan intuisi diri serta ‘intuisi material’. Kembali di sini, gabungan antara proses, karya, dengan sang seniman, perlu diajukan untuk memaknai apa yang sedang Widi lakukan dalam prosesnya tersebut.
Semacam Simpulan
Dengan merangkul tak-bentuk, seniman-seniman pada pameran melebarkan fokus penciptaan dan pergaulan mereka dengan alam semesta melalui cara dan pendekatannya masing-masing. Tak-bentuk dijelajahinya untuk menawarkan beragam strategi dan kemungkinan. Hal seperti metafora, penunjukkan keutuhan dalam penggabungan seni bersama prosesnya, penuturan ulang dialog internal dengan material, serta pengamatan pada hal-hal di luar batasan persepsi manusia, adalah beberapa diantaranya.
Demikianlah, bagaimana dengan mengolah tak-bentuk para seniman yang dilibatkan ini memperbincangkan dinamika budaya manusia dan alam semesta dalam caranya masing-masing. Perbincangan itu tidak sebatas hanya pewartaan atau penyadaran isu-isu lingkungan, ada semacam dialog internal dan perenungan yang begitu dalam mereka lakukan. Hal-hal ini sebetulnya membuka kemungkinan bagi seni untuk mengungkapkan beragam nilai kebijaksanaan yang tak selalu dapat dijelaskan melalui bahasa dan logika. Mungkin siapa yang menduga? Dengan kembali pada material serta kemudian estetika, banyak pula yang kita sadari nyatanya diluputi selama ini.
Daftar Rujukan
Anas, Biranul, ed. (2000). Refleksi Seni Rupa Indonesia, Balai Pustaka: Jakarta, Indonesia.
Bell, Clive. (1989). Art. Oxford University Press. Oxford.
Bryant, Levi., Srnicek, Nick. dan Harman, Graham. (ed.). (2011): The Speculative Turn: Continental Materialism and Realism. re.press: Melbourne, Australia
Fried, M. (1998). Art and Objecthood: Essays and reviews. University off Chicago Press. Chicago, Amerika Serikat
Harman, Graham. (2009). Prince of Network: Bruno Latour and Metaphysics. re.press, Melbourne. Australia
Kant, I., & Bernard, J. H. (1914). Kant's Critique of Judgement. London: Macmillan.
Smith, Terry. (2011). Contemporary Arts: World Currents. Prentice Hall: New Jersey: Amerika Serikat
Wallis, Brian. (1984). Art After Modernism: Rethinking Representation. New Museum of Contemporary Art. Michigan University.
1 Dalam tataran ‘universal’ dan benar-benar kritis terhadap kemanusiaan, kehadiran manusia yang relatif sebentar di dunia ini sebetulnya banyak menimbulkan kerusakan. Ini yang membuat saya merasa bahwa boleh jadi ini menjadi ‘petaka’ bagi kita manusia. Lagipula bukankah alam juga punya cara untuk mengembalikan keteraturannya sendiri, baik ‘dibantu’ atau tidak oleh kita?
2 Menarik sebetulnya ketika kita berspekulasi dalam kemungkinan bahwa kesadaran, meski begitu nyata kita rasakan namun tidak dapat sepenuhnya telah terdefinisikan, dapat dibagi juga oleh hal-hal di luar manusia. Sejauh ini mungkin kecerdasan buatan atau makhluk luar angkasa yang berkemungkinan untuk juga menunjukkannya, yang entah mengapa proyeksi kita terhadapnya selalu terkesan negatif bagi kemanusiaan. Apa ini juga termasuk bias kemanusiaan?
3 Dalam konteks positivisme, dengan merasa pendekatan metodikal-saintifik merupakan satu-satunya kanal pencairan kebenaran tunggal. Di banyak kesempatan disadari bahwa metode itu beresiko melakukan penyederhanaan dan generalisasi berlebihan. Di tingkat terjauhnya hal ini juga mungkin saja positivisme ini menuju pada fundamentalisme terhadap rasio dan logika, yang dengan serta merta menampik kebijaksanaan dari sistem pengetahuan lain yang tidak berlandaskan metode saintifik.
4 Dapat sebetulnya kita maknai bahwa simbol-simbol yang diciptakan oleh masyarakat tradisi juga muncul dari tindak abstraksi / penyederhanaan dalam upaya pemurnian esensi nilai-nilai kehidupan. Manusia modern, mungkin kita juga, memilih untuk menyebutkan sebagai ragam hias atau pola, alih-alih sebagai abstrak atau abstraksi, karena dianggap masih menunjukkan jejak-jejak representasi yang menggugurkan upaya pemurnian seni. Pemikiran Sudjoko (dalam Anas, 2000) dalam melihat adanya kedekatan antara masyarakat tradisi dengan bentuk abstrak juga sebetulnya menarik untuk dikemukakan karena menawarkan kemungkinan relevansi lukisan abstrak dengan masyarakat Indonesia. Sayangnya, konsekuensi budaya visual dari modernitas kemudian menjadikan masyarakat ‘perkotaan’ lebih akrab pada bentuk-bentuk yang representasional alih alih pada yang ‘nirada’ (istilah Sudjoko pada karya-karya abstrak).
5 Ini tentunya merujuk pada Clive Bell (dalam Art, 1914). Menurutnya, penciptaan seni semestinya menemukan bentuk signifikan yang kemudian akan memberikan kekhususan serta kebaruan pengalaman penginderaan, yang berpeluang untuk menyentuh dimensi estetika manusia yang terdalam.
6 Serta semakin erat kaitan metareferensial-nya.
7 Konsep Formless yang melandasi pameran ini merupakan interpretasi spesifik atas premis kuratorial pada pameran Formless: A User Guide (1996), yang dikuratori oleh Rosalind Krauss dan Yves Alan Bois, pameran yang sebetulnya banyak merujuk dan mengembangkan pemikiran Geogre Bataille seputar l’informe, sebuah ajakan untuk tenggelam ‘ke bawah’ dan menyelami nilai guna dari bentuk-bentuk dasar yang disubversi modernisme. Konsep ini kemudian menawarkan sebuah pendekatan kritis yang khusus dalam menghadapi ketimpangan seni modern, dengan masih berfokus pada aspek-aspek kebentukan yang sejatinya esensial. Meski berpotensi, projek ini terkesan tidak berjalan selaras dengan semangat tikungan bahasa yang mementingkan fungsi representasi. Krauss sendiri memang masih menggarap beberapa turunan dari konsep ini, namun keterlibatannya dalam projek-projek representasi seni menyita perhatian dan mengalihkan fokusnya untuk lebih jauh mengembangkan. Formless kemudian dipetakan ke dalam empat premis dasar: materialitas dasar’ (base materialism), kesejajaran (horizontality), denyut (pulse), dan entropi.
8 Saya memilih untuk menerjemahkan formless sebagai tak-bentuk, lebih merujuk pada logika informe (in- : tak-, dan forme: bentuk) dalam rujukan istilah mulanya. Sempat sebelumnya saya gunakan istilah nir-bentuk untuk menggantinya, namun dirasa kurang tepat karena ia beresiko menandakan ketiadaan. Sebagaimana dijelaskan, tak-bentuk sendiri memang mengandung pengertian yang lebih luas dan tidak hanya membicarakan seputar potensi kritis dalam perangkulan gejala bentuk alam. Di pameran ini, interpretasi tersebut kemudian dikerucutkan, dengan sebelumnya memaknai materialitas dasar sekaligus pada kesejajaran, diarahkan untuk mengikuti sikap para seniman yang dilibatkan. Di sisi lain, kesan ‘kurang’ pada formless ini juga menawarkan potensi pertalian dengan minimalisme, namun karena adanya sentimen ‘teatrikalitas’ (Fried, 1967) yang membayanginya, pembahasan ini akan terkesan problematis utamanya ketika menimbang bagaimana material-material industrial banyak digunakan dalam minimalisme.
9 Atau bahkan lebih jauh, menunjukkan nilai-nilai keberaturan dan keseimbangan.
10 Setidaknya di mulai dari pertengahan dekade 2000an dan kian populer pada dekade berikutnya, mulai muncul upaya untuk ‘kembali pada perbincangan realita’ alih-alih pada konstruksinya melalui bahasa dan logika. Fenomena ini menyatakan semacam penolakan terhadap upaya reduksi kenyataan hanya pada apa-apa yang rasional, masuk akal, serta yang literal (Bryant, Srnineck, Harman, 2011). Dalam inisiatifnya, beragam permodelan tentang akses pada realita yang mungkin diupayakan melampaui bahasa kemudian diajukan. Ada satu ciri khas darinya, ketika beroperasi di luar logika, adalah menjadi spekulatif. Beberapa kemungkinan turunan dan spesifikasinya adalah ontologi datar dan realisme spekulatif, dan sekarang dipayungi oleh pemikiran ontologi objek (Object-Oriented Ontology).
11 Konsep vertikalitas ini adalah salah hal yang dikritik oleh formless melalui bagian kesejajaran (horizontality). Sebagaimana diilustrasikan, manusia modern merasa menduduki hierarki eksistensial yang lebih tinggi ketimbang hal-hal lain selain dirinya, seperti hewan, tetumbuhan, juga alam. Bentuk pun ditanganinya demikian, hanya yang diciptakan manusia yang menjadi bermakna.
12 Variasi dari materialitas dasar (base materialism), beragam gejala yang ada di ‘bawah’ hierarki eksistensi manusia.
13 Berpeluang untuk menampilkan kesan abstrak, dalam dikotomi representasi dan non-representasi yang cukup banyak mewarnai perbincangan seni rupa dunia maupun indonesia, pada periode modern maupun kontemporer-nya.
14 Dikutip dari pernyataan praktik (statement of practice / artist statement) dari senimannya.
15 Harap dibedakan dengan perbincangan kultural yang dilakukan sebelumnya, yang dipertentangkan dengan yang natural. Penghayatan tradisi tentunya bersifat kultural juga meski mengandung konteks pemaknaan yang jauh berbeda dengan sifat ‘kultural’ dalam modernisme.
16 Dalam aktivitasnya Jibril juga sering menerima projek-projek pesanan patung yang datang baik dari sektor privat maupun publik yang tentunya lebih menuntut negosiasi dan pemahaman tentang efisiensi, kerja kolektif, hingga desain industri. Seringkali hal-hal ini bertolak-belakangan dengan nilai-nilai ideal dari cipta seni, namun di sana Jibril banyak mempelajari, bahkan ketika perlu bernegosiasi pada otonominya sendiri.