top of page

Dunia Belum Sudah

Image-empty-state.png
20 April 2024

-

16 Juni 2024
Semarang Contemporary Art Gallery, Jalan Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

a group exhibition 

Antoe Budiono (collaboration with Haidar Emen) 

Dadang Rukmana • Dias Prabu • Djoeari Soebardja

Gatot Pujiarto • Isa Ansory • Suwandi Waeng


curated by Wahyudin

Tujuh Menguak Rupa


Tajuk pameran ini: Dunia Belum Sudah—saya petik dari sajak Rivai Apin dalam bukunya bersama Asrul Sani dan Chairil Anwar, Tiga Menguak Takdir (1950). Ini potongan persisnya:


Buncah oleh itu kata yang belum

punya bumi tapi telah mengejar

pula ke dalam dunia yang belum

sudah


Dari situlah saya menemukan sepotong bingkai “kebijaksanaan” untuk pameran di Semarang Gallery ini. Pas pula dengan semangat berkarya ketujuh perupa peserta pameran ini. Petik-memetik bentuk, teknik, atau gagasan artistik bukan perkara cara belaka dalam daya cipta mereka, melainkan juga pokok soal mereka menguak rupa melalui lukisan lanskap dan potret dari kehidupan sehari-hari, berita di media sosial, pengalaman hidup di lalu waktu, lukisan lama, biografi tokoh, dan cerita rakyat.


Dadang Rukmana (Malang), Djoeari Soebardja (Batu), Isa Ansory (Batu), dan Suwandi (Batu) berkerabat secara artistik dalam pokok perupaan lukisan mereka—yaitu lanskap (gunung, bukit, hutan, sawah, danau, laut). Tapi Suwandi merupakannya secara ekspresif sebagai panggilan kembali pengalaman hidupnya di perbukitan atau pegunungan; Isa Ansori dengan ekspresif menggambarnya sebagai referensi deskriptif atau lanskap rekaan dari lanskap empiris gunung, bukit, hutan, dan danau yang pernah dilihatnya sebagai pesepeda alam, alih-alih pesepeda gunung; Djoeari Soebardja melukiskannya secara realis-fotografis sebagai cermin perbandingan berdasarkan penghayatannya atas pemandangan alam di sekitar Batu dan lukisan pemandangan “Hindia molek” Basoeki Abdullah; sedangkan Dadang Rukmana dengan teknik kerok memvisualisasikannya secara realis-fotografis sebagai pantulan kesan spiritualnya atas foto “Klein Scheveningen” atau Scheveningen Kecil”—nama pantai di utara Jepara pemberian Kartini—dalam buku Panggil Aku Kartini Saja Pramoedya Ananta Toer.


Sementara itu, Antoe Budiono (Malang) dengan teknik kerok menampilkan lukisan potret realis lagi komikal sebagai bentuk pernyataannya atas berita-berita sosial-politik yang ditonton atau dibacanya di media sosial, Dias Prabu (Yogyakarta) mengetengahkan lukisan potret naratif dengan teknik drawing-batik dari sosok dan pokok legenda Batu-Kapal di Natuna—dan Gatot Pujiarto (Malang) mengusung lukisan potret grotesk dengan teknik jahit sosok-sosok dari cerita rakyat Jawa dan kisah sehari-hari tentang kesuburan, kesejahteraan, dan kelanggengan hidup.


Demikianlah—lukisan-lukisan mereka menjelmakan foto yang sudah tercetak, lukisan yang sudah terbuat, peristiwa yang sudah berlalu, dan kisah yang sudah tersiar sebagai pokok perupaan yang belum ditemuciptakan, alih-alih dunia belum sudah yang memungkinkan pemirsa mengalami petualangan intelektual atau petualangan emosial dengan penghayatan insani tak tepermanai.


bottom of page