Don Quixote dan Hal-hal yang Belum Sudah
14 Juni 2019
-
13 Juli 2019
Semarang Contemporary Art Gallery, Jl. Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia
a solo exhibition by
Goenawan Mohamad
curated by
Wahyudin
officiated by
KH. A. Mustofa Bisri (Gus Mus)
(Kyai, Poet and Artis)
Goenawan Mohamad, Don Quixote dan Hal-Hal yang Belum Sudah
Goenawan Mohamad (GM) sudah berusia 75 tahun—dengan harum namanya sebagai penyair liris, wartawan kawakan, dan penulis Catatan Pinggirtiada banding—ketika dia pertama kali menggelar pameran tunggalnya di Pelataran Djoko Pekik, Sembungan, Bantul, Yogyakarta, pada 11-25 November 2016.
Sejumlah gambar dan sketsanya pernah terpasang sebagai ilustrasi dalam dua buku kumpulan sajaknya, Don Quixote (2011) dan Fragmen (2016). Tapi itu tak lantas membuatnya dikenal sebagai perupa atau penyair-perupa. Penghayat seni rupa Indonesia justru lebih mengenalnya sebagai sastrawan terkemuka dengan perhatian besar terhadap perkembangan seni rupa Indonesia lewat pameran-pameran di Galeri Lontar-Komunitas Utan Kayu, Jakarta, dan Galeri Salihara-Komunitas Salihara, Jakarta, yang disokongnya sejak 1994 dan 2008—serta sejumlah esai berisi pemahaman dan penghayatannya atas karya-karya seni rupawan Tanah Air, antara lain Djoko Pekik, Hanafi, I Nyoman Masriadi, Rusli, dan Tisna Sanjaya.
(Esai-esai itu, bersama esai seni rupanya yang lain berpokok tubuh, ruang, potret, grotesk, kekuasaan, dll., akan terbit dalam buku Pigura Tanpa Penjarapada Juni 2019—bisa jadi berbetulan dengan pembukaan pameran tunggalnya di Galeri Semarang ini pada 15 Juni 2019.)
Tak terdidik secara formal dalam disiplin seni rupa, sekira 150 sketsa yang diusung GM di ruang seni rupa milik pelukis Berburu Celeng itu bukan hanya membuktikan perkataannya bahwa “sejak sekolah dasar saya biasa dianggap ‘pintar nggambar’”—melainkan juga meyakinkan penghayat seni rupa bahwa dia tak main-main, apalagi sekadar iseng, dalam meniti, pinjam istilah mendiang perupa S. Teddy D., “jalan gambar”.
Gayung bersambut. Pada 2017, dia beroleh undangan pameran tunggal kedua, ketiga, dan keempat, susul-menyusul, di dia.lo.gue artspace, Jakarta (Kata, Rupa, Februari 2017), Aksara Pacific Place, Jakarta (Another Stage, Juli 2017), dan Kiniko Art-Sarang Building, Bantul, Yogyakarta (Ke Tengah, November 2017). Yang terakhir itu bahkan terasa spesial karena merupakan bagian dari perhelatan Biennale Jogja XIV.
“Saya cukup kaget diundang untuk berpameran dalam Biennale Yogya tahun ini. Saya tak dikenal sebagai perupa,” kata GM. “Kenapa saya diajak? Saya pikir, orang—termasuk panitia biennale—tertarik kepada yang saya kerjakan karena rada aneh: saya seorang penulis—meskipun bukan satu-satunya—kok memproduksi gambar-gambar? Tapi saya senang memenuhi undangan ini.”
Seingat saya, sejumlah penghayat seni rupa, perupa, dan kurator pun lumayan kaget dengan pameran GM di panggung biennale bertajuk Stage of Hopelessness/Age of Hope itu. Ada bisik-bisik yang mengusik—terutama soal kelayakannya sebagai peserta di forum seni rupa penting dua tahunan itu.
Saya kira soal itu yang membikin saya memulai ulasan saya akan pameran GM tersebut di Jawa Pos (Minggu, 19 November 2017) dengan kalimat ini: “seorang penyair berseni rupa bukanlah laku istimewa di republik ini. Bukan pula perkara aneh yang harus diperdebatkan berlarat-larat dengan urat saraf dan otak nan tegang.”
Saya kira seharusnya begitu. Apalagi, sebagaimana sudah saya sebutkan di atas, GM telah menginsafi soal tersebut. Kita ingat, sebelum GM sudah ada penyair Nirwan Dewanto dan Sitok Srengenge yang berseni rupa dengan objek-instalasi dan lukisan, khususnya lukisan abstrak. Sebelumnya lagi sudah ada penyair Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus dan D. Zawawi Imran yang berseni rupa dengan lukisan, utamanya lukisan kaligrafi. Sebelum-sebelumnya lagi sudah ada Trisno Sumardjo yang berseni rupa dengan lukisan-lukisan pemandangan, terutama saat dia masih aktif di Seniman Indonesia Muda pada pertengahan 1940-an.
Tapi, lebih dari itu, tulis saya pula dalam ulasan itu: “pameran tersebut penting sebagai bagian dari ikhtiar kreatif Biennale Jogja XIV bukan hanya menciptakan situs pengalaman estetis yang populis, dapat diakses, dan memuaskan keinginan setiap pengunjung, melainkan juga menerima jenis laku seni rupa tertentu yang berbeda dari biasanya diamalkan di dunia seni rupa kontemporer Indonesia, utamanya di Yogyakarta hari-hari ini.”
Ternyata, apa yang “rada aneh” dan “yang berbeda dari biasanya”—dengan 83 lembar sketsa di kertas berukuran rata-rata 37 x 29,5 sentimeter—yang berlangsung di ruang seni rupa kepunyaan salah seorang perupa pentolan Kelompok Jendela, Jumaldi Alfi, itu malah menggugah perupa Hanafi,yang tinggal dan berkarya di Desa Maruyung, Kelurahan Rangkapan Jaya Baru, Kota Depok, Jawa Barat, untuk berkolaborasi dengan GM. Hasilnya, pameran 57 x 76 di Galeri Nasional Jakarta, 21 Juni-2 Juli 2018, yang mengetengahkan sekitar 200 lukisan kanvas atau kertas dengan pelbagai pokok perupaan dan ukuran.
Yang tak kalah mengesankan, sebelumnya, GM berpartisipasi dalam pameran bersama Celebrating Indonesian Portraiture di OHD Museum, Magelang, Jawa Tengah, 5 Mei-8 Oktober 2018—dan menggelar pameran tunggal Warna, berupa17 sketsa berwarna pada kertas berukuran 37 x 29,5 sentimeter, di Faber-Castell Boutique, Jakarta, 30 Mei-20 Juni 2018.
Setelah ekshibisi solo, duo, dan grup itu, GM ikutserta dalam dua pameran bersama,Spektrum Hendra Gunawan, bagian dari pameran Hendra Gunawan: Prisoner of Hope, di Museum Ciputra Artpreneur, Jakarta, 4-16 Agustus 2018—dan The Future of History, Biennale Jawa Tengah, di Kota Lama Semarang, Jawa Tengah, 7-21 Oktober 2018—serta menggelar satu pameran tunggal bertajuk Ruang Vakansi di Hotel Monopoli, Kemang, Jakarta, 28 Agustus-13 September 2018.
Pada Biennale Jawa Tengah kali kedua itu, kebetulan saya berlaku sebagai salah seorang kuratornya, bertempat di Galeri Semarang, GM membawa 30 karya (19 lukisan di kanvas, 9 sketsa di kertas, dan 2 lukisan di kanvas kolabarasinya dengan Hanafi).
Di sana, sebagaimana terjadi di Biennale Jogja XIV, dari lisan salah seorang perempuan perupa terkemuka Yogyakarta, saya mendengar komentar seorang kurator jauhari dari Jakarta akan keikutsertaan GM dalam Biennale Jawa Tengah II. Menurutnya, sekalipun GM termasyhur sebagai seorang penulis dan penyair—GM belum layak untuk diikutsertakan dalam forum seni rupa (wan) penting sekelas biennale.
Saya merespons komentar itu dengan mengatakan bahwa saya sengaja mengundang GM sebagai perupa-peserta Biennale Jawa Tengah II untuk mengartikulasikan gagasan kuratorial biennale tentang sosok dan pokok ber-“masa depan sejarah”. Pada daya cipta GM, setidaknya sekira dua tahun terakhir itu, saya menemukan salah satu kemungkinan masa depan sejarah seni rupa—yaitu penyair atau penulis yang berseni rupa dengan penuh seluruh. Itu memang bukan fenomena baru, tapi intensitas GM dalam berseni rupa sejauh itu adalah sejarah yang meyakinkan saya pada apa yang pernah saya tulis ini:
“Di dunia seni rupa kontemporer yang memungkinkan apa pun bisa menjelma karya seni rupa dan siapa pun dapat menjadi seni rupawan—seorang penyair yang berseni rupa bermanfaat sebagai jendela yang lain untuk menikmati pengalaman estetis yang berbeda.”
Dengan itu, saya berketetapan bahwa GM benar-benar pantas ikutserta dalam Biennale Jawa Tengah II.Saling komentar pun selesai.Saya kemudian berlalu untuk mengurus sejumlah centang-perenang di perhelatan Biennale Jawa Tengah II yang, celakanya, belum jua tuntas hingga kini.
Saya sengaja menuturkan soal itu di sini agar GM tahu bahwa kehadirannya di dunia seni rupa Indonesia telah “mengharu biru” sebagian penghayat seni rupa. Tak apa. Wajar saja. Toh sebagian lainnya, yang lebih besar, menerimanya dengan tangan terbuka.
Terbukti, setelah Biennale Jawa Tengah II rampung, GM beroleh undangan pameran bersama, Manusia dan Kemanusiaan,di OHD Museum, Magelang, 26 Januari-25 April 2019. Kemudian ikutserta dalam pameran bersama, Pameran Seni Lintas Generasi, di Hotel Pullman, Central Park, Jakarta, 10 Februari 2019. Selanjutnya berpartisipasi dalam pameran bersama, The Gift, di OHD Museum, Magelang, 27 April-6 Oktober 2019.
Pada titik itu, saya ingin menegaskan bahwa, selama tiga tahun terakhir ini, GM—dengan sekira 312 karya kertas, lebih kurang 40 lukisan di kanvas, dan 200-an karya kolaborasi yang telah diperhelatkan dalam 6 ekshibisi solo, 6 pameran grup, dan satu pergelaran duo—merupakan penyair-perupa Indonesia yang paling produktif dalam berkarya dan berpameran.
Dihitung-hitung sambil lalu, produktivitas itu bahkan melebihi produktivitasnya dalam bersajak dan beresai yang sudah dilakukannya sejak remaja. Jadi, saya kira tak berlebihan untuk mengatakan bahwa seni rupa Indonesia hari ini beroleh seorang perupa “muda” yang sangat produktif di umurnya yang berida.
Betapapun jam terbang berseni rupanya masih terbatas, produktivitas GM meyakinkan saya bahwa tidak ada yang tiba-tiba atawa mendadak dalam pencapaian artistik seorang perupa. Perhatikan perkataan GM berikut:
“Sejak di sekolah dasar saya biasa dianggap ‘pinter nggambar’ dan dalam pengalaman selanjutnya saya selalu diam-diam mencorat-coret kerta dengan bentuk macam-macam, bila misalnya saya tak tertarik mengikuti rapat. Tapi saya tak pernah punya cita-cita jadi perupa. Puisi memberi saya dunia yang kurang-lebih sama—dan seringkali lebih intens menguasai saya. Meskipun demikian, sajak-sajak Don Quixote dan gambar yang terjadi dari sana membuat saya makin “gemar-menggambar”. Gambar-gambar dalam puisi itu yang kemudian diminta dua orang teman sastrawan di Kuala Lumpur untuk dipamerkan—dan dari saat itulah saya mulai berpikir untuk pameran.”
Baiklah kita ingat, sebagaimana sudah saya singgung sebelumnya, kumpulan sajak Don Quixote, yang memuat sekira 18 gambar dan corat-coret, terbit pada 2011. Sedangkan pameran tunggalnya kali pertama terjadi pada 2016.Itu artinya, ada jarak 5 tahun dari niatnya berpameran ke pameran sebenarnya. Jarak itu tentu saja tak singkat—dan seseorang dengan daya cipta yang melimpah sudah barang tentu tak akan iseng dengan niatnya.
Dalam perkara itu, dengan agak berlebihan, saya ingin menyebut GM sebagai perupa, pinjam istilah penulis Malcolm Gladwell, “lambat panas”. Perupa“lambat panas” adalah spesis perupa yang bakat, karir, dan reputasinya terlihat, tertapaki, dan teraih pada usia lanjut.
Mereka adalah para “perupa eksperimental” atau “master sepuh”—untuk memakai istilah ekonom yang pecinta seni rupa, David W. Galenson. Mereka adalah sejenis pelari maraton yang senantiasa mencari, tak cepat puas—kalau bukan gampang frustasi dan menolak repetisi—dan menghargai kebijaksanaan,penilaian, dan pengalaman mereka di antara teman, keluarga, dan penyokong daya cipta mereka.
Dalam bukunya, Old Masters and Young Geniuses: The Two Life Cycles of Artistick Creativity (2008), Galenson menyebut, antara lain, Paul Cezanne, Frans Hals, dan Hans Hofmann sebagai golongan perupa “lambat panas”. Betapa tidak, seturutnya, setelah “berlatih puluhan tahun”, Cezanne baru bisa menggelar pameran tunggalnya kali pertama pada umur 56. Sementara Hals baru berhasil menciptakan kebanyakan lukisan pentingnya pada umur 80—Hofmann mencapainya pada umur selewat 80.
GM tentu saja bukan Cezanne, Hals, atau Hofmann. Tapi kesejatian mereka yang “lambat panas” itu tersua dalam daya cipta GM, terutama bila kita menyimak perkataannya ini:
“Bertahun-tahun saya menulis, dan sekarang saya memasuki wilayah sepenuhnya visual, meraba dari satu coretan ke coretan lain (…) Dimulai dengan semacam studi, mencoba mewujudkan kembali apa yang saya alami sedikit demi sedikit dari dunia bentuk (“anjing”, “reptil”, dsb.). Sesudah itu, usaha untuk “merevitalisasi” kenangan tentang perjalanan, tentang pertemuan dengan gambar dan foto di internet, dan akhirnya melepaskan diri dari itu semua. Dari yang figuratif, semi-figuratif, dan yang datang bukan dari alam benda melainkan digerakkan oleh sajak dan tulisan, baik karya sendiri maupun karya orang lain, dan juga dari pertemuan dengan kata-kata dan bacaan. Saya selalu menemukan bayang-bayang gambar dalam ide dan sajak (…) Yang juga membuat saya tergerak menggambar terus adalah dorongan menolak repetisi (…) Dalam perjalanan saya yang masih pendek, repetisi akan terasa sebagai jalan buntu. Maka saya berpindah dari satu corak ke corak lain dengan relatif cepat.”
Dalam kesempatan yang lain, GM menyebut penolakannya terhadap repetisi sebagai ikhtiar “mencoba-coba—cepat bosan dengan satu corak—sembari belajar hal baru tiap kali.” Tegasnya, “tak ada repetisi, yang ada adalah ‘beda’ yang tertangkap dalam repetisi.”
“Studi”, “mencoba-coba”, “revitalisasi”, dan “menolak repetisi” adalah kata-kata kunci yang bisa kita temukan dalam proses kreatif si “lambat panas” macam Cezanne, Hals, dan Hofmann.
“Cara kerja mereka mencoba-coba dan sedikit demi sedikit,” tulis Galenson. “Mereka mengulang-ulang pekerjaan, melukis subjek yang sama berkali-kali, dan pelan-pelan mengubah perlakuan terhadap subjek dalam proses coba-coba. Tiap karya mengawali karya selanjutnya, dan tak satupun yang diistimewakan dibanding yang lain, sehingga para pelukis eskperimental jarang membuat sketsa atau rancangan awal khusus untuk satu lukisan. Mereka menganggap pembuatan lukisan sebagai proses pencarian, di mana mereka mencoba mencari gambar selagi membuatnya; biasanya mereka percaya bahwa belajar adalah tujuan yang lebih penting daripada menyelesaikan lukisan.”
Pernyataan tersebut memang tak sepenuhnya dapat diterapkan untuk proses kreatif GM. Tapi kita masih dapat menemukan sejumlah kesesuaiannya dalam lukisan-lukisan dan sketsa-sketsa GM—terutama yang berpokok perupaan Don Quixote.
***
Pada Jumat sore, 8 Februari 2019, untuk kali kedua, saya bertandang ke studio GM di sebuah sudut gedung Komunitas Salihara. Sebagaimana sebelumnya, selepas melihat dan mendiskusikan karya-karya, baik yang sudah maupun yang belum rampung, yang diproyeksikannya untuk pameran tunggal di Galeri Semarang—kami akan melanjutkan bakubicara tentang hal-hal apa saja yang terlintas saat itu dalamsepeminuman es kopi susu di Kedai Kopi Kecil Salihara.
Sore itu, ketika memesan es kopi susu, saya berkata kepada GM:
“Pak, kita perlu judul untuk pameran tunggal Anda di Galeri Semarang—ada ide?”
Tampak kurang yakin, GM menjawab, “Kata-Rupa ...”
“Bagaimana kalau Don Quixote dan Hal-Hal yang Belum Sudah,” usul saya.
“Ya, itu saja!” sahut GM.
Jauh-jauh hari sebelum ke Jakarta, saya sudah menyiapkan sejumlah alasan pemilihan judul itu. Kenyataannya, alasan itu tak jadi terucapkan. Kami justru lebih asyik berbicara tentang Kota Lama Semarang sebagai tempat perjumpaan estetis yang tidak diperantarai nilai-tukar, perdagangan, dan keuntungan. Apalagi, saat di Kedai Kopi Kecil sore itu, ikut pula ngobrol bersama kami arsitek yang penyair Avianti Armand.
Oleh karena itu, izinkan saya mengutarakan barang sebentar sejumlah alasan pemilihan judul Don Quixote dan Hal-Hal yang Belum Sudah di sini. Pertama, pengakuannya: “Don Quixote diciptakan Cervantes untuk diolok-olok. Kemudian sejumlah pengarang lain melihatnya berbeda: kita tercengang dan kita merasa tak mampu menghakimi dan mencemoohnya. Tokoh fiktif ini majenun karena imajinasi, dan imajinasi tak bisa selesai. Saya ikut dibayanginya.
Bisa dimengerti jika GM menjadi penyair, penulis, dan perupa Indonesia yang berdaya cipta meruah—terutama guna pengkajian dan penciptaan Don Quixote dalam sajak, esai, dan lukisan atau sketsa.
Sejak pertama kali menyebutnya dalam Catatan Pinggir berjudul “Che” (3 Mei 1980), ksatria bahlul itu menjelma semacam api inspirasi GM yang tak kunjung padam. Itu sebabnya, pembaca akan menjumpai lagi sosok khayali itu disebut atau direnungkannya dalam Catatan Pinggir berjudul “Bung Karno” (24 September 1988), “Zapatista” (29 Juli 2001), “Sancho” (22 September 2002), “Bermula dengan Menolak” (17 November 2002), “Gubernur” (15 Juli 2007), “Majenun” (29 Agustus 2010), “Don Quixote” (12 Juli 2015), “Fidel” (11 Desember 2016), dan “Aletheia” (18 November 2018).
Tak hanya dalam Catatan Pinggir—Don Quixote pun menuntunnya menggubah sajak. Di antara 2007-2010 GM menganggit 19 buah puisi di seputar riwayat petualangan Don Quixote. Pada 2011, kesembilan belas sajak itu dihimpun ke dalam satu buku berjudul Don Quixote yang diterbitkan oleh TEMPO dan pt.grafiti pers, Jakarta. Dua tahun kemudian, pada 2013, TEMPO menerbitkan kumpulan sajak itu dalam dwibahasa, Indonesia-Inggris.
Tak berhenti sampai di situ, pada 2016, GM kembali menggubah dua sajak berpokok soal Don Quixote dengan judul “Pertanyaan-Pertanyaan untuk Don Quixote” dan “Tamu”. Kedua sajak tersebut dapat kita temukan dalam buku Fragmen (September 2016) terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Melengkapi pemikiran dan penghayatannya akan Don Quixote dalam esai dan sajak—GM membuat telaah atas karya Miguel de Cervantes itu sebagai “sebuah perkenalan”, karena karya itu akan terbit dalam versi Indonesia, dalam buku kecil setebal 205 halaman berjudul Si Majenun dan Sayid Hamid terbitan PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2018.
(Seluruh Catatan Pinggir, kumpulan sajak, dan telaahberpokok soal Don Quixote itu akan dipajang di sebuah meja kaca sebagai artefak intelektual GM dalam pameran tunggal ini.)
Kedua, seperti tak cukup dengan Catatan Pinggir, kumpulan sajak, dan telaah itu, GM membikin lukisan, gambar, atau sketsa berpokok perupaan Don Quixote. Lebih dari sekadar bermanfaat sebagai sampul buku atau ilustrasi untuk kumpulan-kumpulan sajaknya—pokok perupaan Don Quixote, sebagaimana sudah saya singgung sebelumnya, bermakna penting dalam proses kreatif GM sebagai perupa.
Pokok perupaan itulah, terutama yang termuat dalam kumpulan sajak Don Quixote (2011), yang membikinnya “makin ‘gemar menggambar’”—dan menggugahnya untuk pameran. Dengan kata lain, pokok perupaan itu adalah titik berangkat yang meyakinkannya untukberdaya cipta di dunia seni rupa Indonesia.
Bisa dipahami jika pokok perupaan itu selalu mendapat perhatian saksama darinya sejak mula dia berkarya dan berpameran seni rupa. Secara kuantitatif, pokok perupaan itulah yang paling banyak dibuat dan dibuat-ulang olehnya, baik dengan media kertas maupun kanvas.
Dalam pameran tunggalnya ini kali di Galeri Semarang, GM membawa 32 karya berpokok perupaan Don Quixote. Rinciannya, gambar dan puisi bertarikh 2018 yang terjuktaposisi dengan media akrilik di kertas berukuran 70 x 51 sentimeter dan 96 x 51 sentimeter sebanyak 22 buah. Sketsa bertahun 2018 dengan media akrilik di kertas berukuran 50 x 45 sentimeter dan 42 x 50 sentimeter sebanyak 7 buah. Satu di antaranya menggambarkan sosok Dulcinea, kekasih Don Quixote. Lukisan potret Don Quixote bertitimangsa 2018 dengan media akrilik di kanvas berukuran 100 x 100 sentimeter sebanyak 1 buah. Dan gambar dan teks puisi “Pertanyaan-Pertanyaan untuk Don Quixote” berwarsa 2017 dengan media pena dan tinta di kertas berukuran 37 x 29,5 sentimeter sebanyak 2 buah.
Ketiga, berdasarkan penjelasan di atas, sayaingin menegaskan pokok perupaan Don Quixote—dengan pemahaman dan penghayatannya dalam telaah, Catatan Pinggir, dan sajak—sebagai hal-hal yang belum-sudah dalam proses kreatif GM. Terbukti, bertolak dari 22 buah gambar dan sajak Don Quixote, GM membuat pentas sastra Don Quixote—dengan penampil: Andra Karim, Carmen C. Fernandes, Landung Simatupang, Ninik L. Karim, Rebecca Kezia, Sri Hanuraga, dan Syam Maarif—selama dua hari, 23-24 Oktober 2018, di Teater Salihara. Rekaman pentas itu akan diputar-tayangkan sebagai bagian dari pameran tunggalnya di Galeri Semarang.
Setelah itu, konon, GM tengah merancang pertunjukan Wayang Golek Don Quixote.
***
Atas semua alasan tersebut, saya dan GM ingin menempatkan pameran ini sebagai semacam retrospeksi kecil yang memungkinkan pemirsa menilai dan menikmati atau memahami dan menghayati perkembangan estetis dan pencapaian artistik GM dalam berseni rupa.
Itu sebabnya, selain membawa 32 karya lukisan, gambar, dan sketsa berpokok perupaan Don Quixote—pameran ini mengusung seri gambar bertitimangsa 2017 dengan media pena dan tinta di kertas berukuran 37 x 29,5 sentimeter—yaitu seri “Wayang” (Pembakaran Sita II, Wayang Kurus, Wayang Kalah, Ksatria, dan Mencoba Menyayangi Binatang), seri “Kitab Wahyu” (Kitab Wahyu 3-4), seri “Potehi” (Potehi 3, 5-10), dan seri “Mbakyu” (Mbakyu 1-5).
Selain itu, pameran ini mengikutsertakan 13 lukisan potret di kanvas dari tahun 2018—yaitu Totem (100 x 120 sentimeter), Syair Macan Putih (100 x 120 sentimeter), Si Item (100 x 150 sentimeter), Oedipus (100 x 150 sentimeter), Kula Sinten (100 x 150 sentimeter), Embak (100 x 150 sentimeter), TP (50 x 70 sentimeter), Frida in Extremis (50 x 70 sentimeter), Kucingku (100 x 100 sentimeter), Ibu (70 x 50 sentimeter), Sapien (70 x 50 sentimeter), Burung Tua (50 x 60 sentimeter), dan Badut (100 x 150 sentimeter).
Kecuali pada pameran Petikan (2016) dan The Future of History (2018), seluruh karya bertahun 2017 dan 2018 yang ada di pameran ini, sebelumnya sudah pernah dipamerkan dalam ekshibisi solo dan grup sebagaimana disebut di atas.
Kami sengaja menghadirkan mereka kembali di sinisebagai perspektif bandingan guna melihat—bahkan mengevaluasi—pencapaian artistik 16 lukisan GM bertitimangsa 2019—yaitu Aku Maunya Hijau(120 x 100 sentimeter), Badan-Badan (100 x 150 sentimeter), Dia Berpikir (100 x 150 sentimeter), Jam Terakhir (50 x 60 sentimeter), Mimpi Afrika (100 x 150 sentimeter), Si Rangka (100 x 150 sentimeter), Slamet Rahardjo 70 Tahun (50 x 60 sentimeter), Mimpi Itu Raden Salen (100 x 100 sentimeter), Identitas (100 x 450 sentimeter), Mesopotamia (100 x 100 sentimeter), Perempuan dan Tanah (100 x 150 sentimeter), Menara Rusia (100 x 120 sentimeter), Notre Dame (150 x 100 sentimeter), Notre Dame II (akrilik di kertas, 37 x 52 sentimeter), Orang Asing (150 x 100 sentimeter), dan Duyung (200 x 240 sentimeter).
Dengan pertimbangan itu, tanpa bermaksud mendahului para pemirsa dalam menentukan penikmatan dan penilaian terhadap karya-karya GM di sini, saya ingin menutup catatan kuratorial ini dengan pernyataan GM dari tahun 2018 ini:
“Karya-karya saya tak bermula dari konsep. Mereka tanpa ide. Tiap gambar membangun ‘ide’-nya sendiri, ide-dalam-proses—pada garis pertama, pada bentuk awal, pada warna permulaan, sampai dengan titik terakhir dan sesudah itu. Dengan demikian, yang berlangsung adalah garis, warna dan bentuk dalam metamorfose.”
Dan metamorfose adalah ihwal daya cipta yang belum-sudah.
Semarang, 15 Juni 2019