top of page

Abstraction / Distinction

Image-empty-state.png
24 Februari 2024

-

14 April 2024
Semarang Contemporary Art Gallery, Jalan Taman Srigunting, Tanjung Mas, Semarang City, Central Java, Indonesia

ABSTRACTION / DISTINCTION:

Initial Probing of Contemporary Formalism,

Indonesian Context


a group exhibition by

Condro Priyoaji • Eldwin Pradipta • Nurrachmat Widyasena

Muchlis "Muklay" Fachri • Adi Dharma a.k.a. Stereoflow

Utami Atasia Ishii • Widi Pangestu

Didin Jirot • Kemalezedine

Tara Kasenda


curated by Ganjar Gumilar

Khas / Bentuk:

Telusur Mula Abstrak Kontemporer Indonesia


oleh Gumilar Ganjar



Apa yang tersisa dari ‘abstrak’ untuk diperbincangkan dalam kemutakhiran? Dalam kerangka inklusivisme plural dan perubahan sosial, tawaran apa yang dimungkinkan? Menariknya semenjak 2010an, gelombang baru yang kembali menunjukkan sensibilitas abstrak mulai mengemuka. Alih-alih ‘mematuhi’ figurasi atau representasi konvensional, gejala ini melahirkan hibriditas dimana representasi dan bentuk murni dapat beririsan. Formalisme kontemporer, menjadi istilah yang kemudian ditambatkan.


Berupaya untuk menjadi telusur awal, pameran ini akan mengungkap pengaruh karakteristik regional—Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bali, bahkan diaspora—pada kemenjadian bentuk para partisipan. Melaluinya, ragam cerminan tentang definisi, signifikansi, serta posisi representasi seni dan bentuk murni dalam perbincangan kemutakhiran kemudian ditawarkan.


Dari Bandung, pameran ini mengundang Condro Priyoaji, Eldwin Pradipta, dan Nurrachmat Widyasena, mencerminkan koherensi konseptual dalam pewacanaan. Condro mengetengahkan sifat abstraksi dari bayangan dan metafor yang dimungkinkan, Eldwin mempermainkan abstraksi biner dalam men-simulasi kenyataan, dan Nurrachmat dengan rendisi jembatan Einstein-Rosen dalam imaji bayangan. Dari Jakarta, Muchlis Fachri (Muklay) dan Adi Dharma (Stereoflow) mencerminkan hiruk-pikuk perkotaan. Potret komikal Muklay diarahkan untuk menekankan unsur formal, sementara Stereoflow menerjemahkan ‘irama kota’ melalui persepsi visual.


Dari Yogyakarta, Widi Pangestu dan Utami Atasia Ishii menunjukkan eksplorasi medium dan material. Widi dengan eksperimentasi kertasnya mengantar pembahasan lanjutan pada budaya material, dan Utami menghadirkan eksplorasi dan penjelajahannya menuju kematangan bahasa ungkapnya. Bergeser ke Bali, Kemalezedine dan Didin Jirot, berupaya menemukan relevansi tradisi dalam kemutakhiran. Kemal, merespon dinamika melalui kontekstualisasi ulang beragam nilai yang kini dan lampu, sementara Didin dengan olahan bentuk industrial dalam perlintasan dengan cara hidup dan ritual. Terakhir, Tara Kasenda, mewakili diaspora, menangkap momen-momen antara tentang keindahan yang kadang sementara dalam eksplorasi warna.


Melaluinya, kita dihadapkan pada dialog kritis dalam menghadapi bias realisme antroposentris, dalam cerminan pengalaman yang melebarkan horizon pemahaman.

bottom of page